Sejarah prostitusi di Indonesia, termasuk di lokalisasi terkenal seperti Saritem di Bandung dan Gang Dolly di Surabaya, memiliki akar yang panjang dan kompleks, seringkali terkait dengan faktor sosial, ekonomi, dan kebijakan pemerintah dari masa ke masa.
Sejarah Prostitusi di Indonesia
Prostitusi di Nusantara sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masa kolonial. Catatan sejarah menunjukkan praktik semacam ini sudah ada di berbagai daerah, terutama di kota-kota pelabuhan dan pusat perdagangan.
- Era Kolonial Belanda:
- Pergundikan: Pada masa awal pendudukan Belanda (terutama VOC), praktik pergundikan (memelihara gundik atau nyai dari perempuan pribumi) sangat lazim di kalangan tentara dan pejabat Belanda karena minimnya perempuan Eropa. Praktik ini seringkali menjadi cikal bakal prostitusi terorganisir.
- Rumah Bordil: Seiring berjalannya waktu, rumah-rumah bordil mulai bermunculan, terutama di kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya, untuk melayani kebutuhan seksual tentara, pelaut, dan pedagang. Para pekerja seks kadang didatangkan dari luar, seperti Macao.
- Kontrol dan Penyakit Kelamin: Pemerintah kolonial sempat berusaha mengontrol praktik prostitusi karena masalah penyakit kelamin yang meluas di kalangan tentara dan masyarakat. Beberapa aturan dan pemeriksaan kesehatan diberlakukan, meskipun seringkali tidak efektif.
- Masa Pendudukan Jepang:
- Jugun Ianfu: Selama pendudukan Jepang, terjadi eksploitasi dan kekerasan seksual yang parah terhadap perempuan pribumi yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu (wanita penghibur) untuk tentara Jepang. Ini merupakan bentuk prostitusi paksa yang meninggalkan luka mendalam.
- Pasca Kemerdekaan dan Orde Baru:
- Urbanisasi dan Kemiskinan: Setelah kemerdekaan, terutama di tahun 1950-an dan 1960-an, arus urbanisasi besar-besaran ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menyebabkan ledakan populasi. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan kemiskinan menjadi salah satu penyebab utama maraknya praktik prostitusi kelas rendah.
- Lokalisasi: Untuk mengatasi masalah prostitusi yang menyebar secara liar dan masalah sosial lainnya, pemerintah daerah di era Orde Baru mulai menginisiasi kebijakan lokalisasi. Tujuannya adalah memusatkan praktik prostitusi di satu area agar lebih mudah dikontrol, baik dari segi kesehatan maupun keamanan. Kebijakan ini terinspirasi dari beberapa negara lain, seperti Thailand. Inilah yang melahirkan lokalisasi-lokalisasi besar seperti Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, dan Gang Dolly di Surabaya.
Saritem, Bandung
- Asal Nama: Nama Saritem sering dikaitkan dengan seorang perempuan cantik bernama Nyi Mas Saritem (ada versi yang menyebut nama aslinya Nyi Mas Ayu Permatasari) yang hidup di zaman kolonial Belanda.
- Salah satu versi menyebut Saritem adalah seorang gadis desa yang berparas menarik yang kemudian dijadikan gundik oleh pembesar Belanda. Ia kemudian diminta untuk mencari perempuan lain untuk para tentara Belanda.
- Versi lain menyebut Nyi Mas Ayu Permatasari (Saritem) adalah seorang keturunan bangsawan Sumedang yang justru ingin menyelamatkan gadis-gadis Pasundan dari cengkraman germo dan menutup tempat prostitusi yang sudah ada di sana, namun namanya kemudian melekat dengan kawasan tersebut.
- Sejarah Lokalisasi: Kawasan Saritem, yang terletak dekat Stasiun Kereta Api Bandung (antara Jalan Astanaanyar dan Gardujati), kabarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, sekitar tahun 1838. Awalnya mungkin bermula dari praktik pergundikan atau penyediaan perempuan bagi tentara kolonial. Seiring waktu, daerah ini berkembang menjadi salah satu lokalisasi terbesar dan paling terkenal di Bandung.
- Penutupan: Lokalisasi Saritem secara resmi ditutup oleh Pemerintah Kota Bandung pada tahun 2007. Meskipun demikian, praktik prostitusi terselubung masih ditemukan di beberapa area sekitarnya.
Gang Dolly, Surabaya
- Asal Nama: Gang Dolly dinamai dari seorang perempuan bernama Dolly van der Mart (atau Dolly Khavit), seorang noni Belanda atau keturunan Indo-Manado yang pada sekitar tahun 1968 mendirikan wisma pertama di kawasan tersebut, yang bernama Bakarna. Ia adalah pemilik dan mucikari awal di sana.
- Sejarah Lokalisasi: Gang Dolly terletak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Awalnya, kawasan ini merupakan kompleks pemakaman Tionghoa yang sepi. Seiring berjalannya waktu, terutama sejak 1960-an dan semakin berkembang pesat di tahun 1980-an, Dolly tumbuh menjadi kompleks lokalisasi prostitusi yang sangat besar. Ia dikenal luas hingga disebut-sebut sebagai kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan beberapa tempat terkenal di Bangkok atau Singapura. Ciri khas Dolly adalah para PSK yang kerap duduk di depan kaca besar layaknya manekin.
- Faktor Perkembangan: Lokasinya yang strategis di kota pelabuhan seperti Surabaya, serta adanya arus urbanisasi dan masalah ekonomi, membuat Dolly berkembang pesat dengan jaringan mucikari yang terorganisir. Mayoritas PSK di Dolly bukan berasal dari Surabaya, melainkan pendatang dari berbagai daerah.
- Penutupan: Lokalisasi Gang Dolly secara resmi ditutup oleh Wali Kota Surabaya saat itu, Tri Rismaharini, pada 18 Juni 2014. Penutupan ini menjadi salah satu penutupan lokalisasi terbesar dan paling bersejarah di Indonesia, yang menghadapi banyak resistensi dari pihak-pihak terkait namun akhirnya berhasil direalisasikan. Pasca penutupan, pemerintah berupaya melakukan alih profesi dan pemberdayaan ekonomi bagi mantan PSK dan warga yang mata pencariannya tergantung pada lokalisasi tersebut.
Penutupan lokalisasi-lokalisasi besar seperti Saritem dan Dolly merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memberantas praktik prostitusi yang dianggap ilegal dan merusak moral, meskipun banyak pihak mengakui bahwa penutupan lokalisasi tidak serta merta menghilangkan prostitusi, melainkan hanya mengubah polanya menjadi lebih terselubung atau beralih ke ranah daring.