SEJARAHID Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang pernah digadang-gadang sebagai simbol kebangkitan olahraga Indonesia. Terletak di Desa Hambalang, Sentul, Kabupaten Bogor, proyek ini mulai dibangun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekitar tahun 2010 dengan ambisi menjadikannya pusat pembinaan atlet bertaraf internasional.
Namun, ambisi itu kandas. Pada tahun 2012, proyek senilai sekitar Rp 2,5 triliun itu mangkrak akibat kasus korupsi besar-besaran yang menyeret sejumlah pejabat tinggi Kementerian Pemuda dan Olahraga serta anggota DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik mark-up anggaran dan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada kerugian negara ratusan miliar rupiah. Sejak itu, “Hambalang” menjadi sinonim bagi proyek gagal dan simbol korupsi era SBY.
Jokowi dan Janji untuk Menghidupkan Hambalang
Saat Presiden Joko Widodo mulai menjabat pada 2014, publik berharap proyek-proyek mangkrak warisan pemerintahan sebelumnya bisa dibereskan. Dan benar, pada Maret 2016, Jokowi mendadak melakukan sidak ke kompleks Hambalang. Dalam kunjungan itu, ia terlihat murung dan berkata dengan nada kecewa, “Saya sedih melihat proyek sebesar ini mangkrak.”
“Uangnya triliunan, dan tidak dimanfaatkan. Ini sangat disayangkan,” ujar Jokowi dalam kunjungan yang diliput oleh Setkab dan sejumlah media nasional.
Kala itu, Jokowi berjanji akan mencari cara untuk memanfaatkan lahan dan bangunan Hambalang agar tidak terus menjadi beban negara. Publik pun menaruh harapan bahwa presiden yang dikenal gemar blusukan ini akan menuntaskan proyek terbengkalai yang menjadi luka lama bangsa.
(CNN Indonesia, 2021: “Jokowi Akan Bangun Kembali Hambalang untuk Sentra Atlet”)
Namun, sepuluh tahun berlalu (2014–2024), tak ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah Jokowi terhadap proyek tersebut. Kompleks Hambalang tetap dibiarkan dalam keadaan tak terurus, sebagian bangunan rusak, dan vegetasi liar menutupi reruntuhan beton. Tidak ada rencana kelanjutan yang signifikan, bahkan sekadar konversi fungsi lahan pun tak terjadi.
Mengapa SBY Tidak Meneruskan Hambalang — dan Dampaknya bagi Jokowi
Hambalang tidak diteruskan oleh Presiden SBY karena proyek tersebut terjerat kasus korupsi besar dan bermasalah secara teknis sehingga sulit dilanjutkan tanpa risiko hukum dan keuangan baru. Setelah KPK menetapkan pejabat Kemenpora serta kontraktor utama sebagai tersangka pada 2012, proyek ini dihentikan total untuk proses penyidikan. Audit BPK juga menyatakan bahwa lahan Hambalang berada di zona rawan longsor, dan sebagian struktur bangunannya rusak akibat kesalahan perencanaan. Melanjutkan proyek tanpa perombakan total hanya akan memperbesar pemborosan uang negara.
SBY akhirnya memilih menghentikannya sepenuhnya hingga akhir masa jabatannya, karena melanjutkan proyek yang cacat hukum dan teknis berpotensi menjadi blunder politik baru.
Dan inilah yang tampaknya juga mempengaruhi sikap Jokowi. Ia menyadari bahwa melanjutkan Hambalang berarti membuka kembali masalah hukum dan risiko teknis yang sama. Maka, membiarkannya tetap terbengkalai menjadi pilihan yang lebih rasional — daripada mengulang kesalahan lama yang berpotensi menimbulkan kerugian baru.
Hambalang sebagai “Monumen Kegagalan”
Keputusan untuk tidak menyentuh kembali proyek Hambalang tampaknya lebih bersifat pragmatis daripada politis. Di mata pemerintah, kompleks tersebut sudah tidak layak secara struktural, dan upaya membangun ulang memerlukan biaya besar yang tidak sebanding dengan manfaatnya.
Karena itu, membiarkan Hambalang tetap apa adanya menjadi langkah realistis: negara tidak perlu menanggung beban tambahan, sementara publik tetap mengingatnya sebagai pelajaran mahal tentang tata kelola dan integritas. Hambalang pun berubah menjadi monumen bisu, simbol bahwa ambisi besar tanpa perencanaan matang dan pengawasan ketat dapat berakhir sia-sia.
Jokowi dan “Proyek Besarnya” Sendiri: IKN
Alih-alih menghidupkan kembali Hambalang, Jokowi memilih untuk menciptakan proyek raksasa baru: Ibu Kota Nusantara (IKN). Diluncurkan resmi pada 2022, proyek pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur bernilai sekitar Rp 466 triliun, didanai melalui APBN dan investasi swasta.
Bagi Jokowi, IKN adalah warisan sejarah dan simbol transformasi nasional, sebagaimana dulu SBY memimpikan Hambalang. Bedanya, IKN jauh lebih besar dan strategis, karena menyangkut masa depan pemerintahan, urbanisasi, dan geopolitik Indonesia.
Namun, media internasional seperti Bloomberg dan Reuters menyoroti potensi risiko IKN sebagai proyek yang mungkin menjadi “white elephant project” — proyek ambisius yang berisiko terbengkalai jika tidak dikelola dengan realistis dan transparan.
Dua Warisan, Dua Nasib
Ironisnya, Jokowi kini berada di posisi yang dulu ditempati SBY: pemimpin dengan proyek besar yang masa depannya masih dipertanyakan. Jika Hambalang menjadi simbol kegagalan masa lalu, maka IKN bisa saja menjadi “Hambalang baru” jika tak dijaga keberlanjutannya.
Namun, berbeda dengan masa lalu, keputusan Jokowi untuk tidak melanjutkan Hambalang tampaknya berakar pada pertimbangan rasional, bukan politik. Ia memilih fokus pada proyek yang lebih relevan dengan arah pembangunan nasional saat ini, sementara Hambalang dibiarkan menjadi pengingat bahwa pembangunan tanpa perencanaan dan tata kelola yang kuat hanya menghasilkan puing sejarah.
Penutup
Kini, Hambalang berdiri seperti prasasti bisu di atas bukit Sentul — sisa ambisi yang runtuh oleh kesalahan dan korupsi. Jokowi tampaknya memahami nilai simbolisnya: bahwa kadang, sebuah kegagalan tidak perlu diperbaiki, cukup dijadikan pelajaran.
Sementara di Kalimantan, Ibu Kota Nusantara tengah dibangun dengan semangat optimisme yang sama seperti dulu Hambalang dicanangkan. Sejarah akan menilai, apakah Jokowi berhasil menciptakan warisan yang benar-benar hidup — atau sekadar mengganti satu monumen harapan dengan monumen kegagalan yang baru.