Mengapa Indonesia Dijuluki “Bangsa IQ Rendah” di Internet?

Analisis Perilaku Digital dan Fakta Data

SEJARAHID Julukan “bangsa IQ rendah” sering muncul di media sosial global untuk menggambarkan perilaku digital masyarakat Indonesia. Namun, istilah ini tidak berbicara tentang kecerdasan biologis, melainkan tentang bagaimana kita berpikir, bereaksi, dan berdebat di internet — sering kali dengan emosi, bukan logika. Tulisan ini mencoba membalik ejekan itu menjadi cermin: bahwa justru dari kritik seperti inilah, bangsa bisa belajar menjadi lebih rasional dan dewasa secara intelektual.

Sebutan “bangsa IQ rendah” sebenarnya bukan persoalan angka hasil tes intelegensi. Rangking IQ Indonesia di berbagai survei internasional berada di posisi menengah. Namun, yang menarik bukanlah angka itu, melainkan perilaku digital dan cara berpikir masyarakat Indonesia di dunia maya yang sering kali dianggap “mencerminkan IQ rendah” oleh komunitas global.

Fenomena ini muncul bukan karena kita tidak cerdas, tetapi karena kita terlalu emosional, terlalu kolektif, dan terlalu cepat bereaksi sebelum berpikir. Internet memperlihatkan wajah sosial kita tanpa filter: di mana emosi kelompok, fanatisme, dan rasa bangga identitas sering kali menenggelamkan logika.

artikel ini tidak membahas hasil Tes IQ, namun membahas perilaku di Internet. rangking IQ Bangsa Indonesia ada di tengah, artinya pintar tidak, bodoh …. hmmm ya tidak juga.


Indonesia’s IQ Ranking

From the above list, we can see that Indonesia is not included in the countries with the highest and the lowest IQ lists, so what is the ranking and the average score of Indonesia’s IQ? Indonesia is ranked at the middle, at the rank of 129th with an average IQ score of 78.49. So, that is the ranking of the countries with the highest and lowest IQ scores. This study was determined by standard IQ tests, and with adjustments to national math, science, reading assessments, and overall data quality. 

Siapa yang Memberi Julukan dan Apa Pemicunya?

Julukan ini secara spesifik tidak diberikan oleh satu lembaga resmi. Julukan ini lahir dari persepsi kolektif warganet, baik dari dalam maupun luar negeri, sebagai reaksi terhadap serangkaian perilaku negatif warganet Indonesia.

Ilustrasi Perilaku Orang Indonesia yang Dinilai Mencerminkan “IQ Rendah”

Kurangnya kemampuan berpikir kritis dan rasionalitas sering kali bermanifestasi dalam respons publik dan perilaku sosial yang kontradiktif, di mana emosi dan sentimen kelompok lebih diutamakan daripada fakta dan logika.

See also  Muhammad Akan Gagal Menyatukan Arab (Islam) Jika Muncul sebagai Filsuf seperti Gandhi, Bukan sebagai Nabi

1. Reaksi Berlebihan dan Sentimentalisme Publik dalam Kasus Tenggelamnya Anak Gubernur di Swiss

Kasus tenggelamnya Emmeril Khan Mumtadz (Eril), putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di Sungai Aare, Swiss (2022), menjadi contoh nyata bagaimana publik Indonesia menunjukkan reaksi emosional berlebihan tanpa nalar kritis.

Alih-alih fokus pada fakta keselamatan di perairan Swiss, sebagian besar masyarakat justru:

  • Menyerang warga atau media asing yang menulis secara netral tentang bahaya Sungai Aare.
  • Membanjiri kolom komentar media asing dengan kalimat religius dan nasionalistik.
  • Mengaitkan tragedi pribadi dengan narasi kesalehan dan takdir, alih-alih menjadikannya pelajaran keselamatan publik.

Kaitan dengan Stigma “IQ Rendah”:
Dominasi emosi atas logika, keterikatan pada kultus figur, dan kegagalan menyaring informasi menandakan lemahnya daya nalar kolektif.

2. Reaksi Emosional dan Pengabaian Kritik Konstruktif

Contoh lain adalah ketika sebuah stasiun televisi nasional (seperti Trans7) menayangkan konten mengenai seorang ulama di pesantren yang membagikan makanan dengan cara yang dianggap merendahkan.

Alih-alih melakukan introspeksi, pihak pesantren dan pendukungnya justru melakukan demonstrasi besar-besaran, menuntut permintaan maaf, dan menuduh media menghina ulama.

Kaitan dengan Stigma “IQ Rendah”:
Kritik dijawab dengan amarah kolektif. Rasionalitas kalah oleh sentimen identitas. Perilaku ini menunjukkan ketidakmampuan menerima kritik dan mengubahnya menjadi introspeksi sosial.

3. Mengabaikan Analisis Rasional demi Takdir dan Sentimen Agama

Ketika bangunan pesantren empat lantai roboh dan menimbulkan korban, publik cenderung menanggapinya dengan narasi fatalistik — “ini sudah takdir Tuhan” — ketimbang menelusuri kelalaian konstruksi atau izin bangunan.

Kaitan dengan Stigma “IQ Rendah”:
Ketika logika teknis dan tanggung jawab manusia digantikan oleh fatalisme, maka ruang pembelajaran sosial tertutup. Tidak ada evaluasi, tidak ada koreksi.

4. Beberapa Perilaku Buruk Lainnya di Internet

  • Ujaran Kebencian dan Diskriminasi (Termasuk Isu Agama dan SARA): Tingginya kasus cyberbullying, trolling (memancing kemarahan), dan penyebaran ujaran kebencian yang sering kali menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan sebagai bahan serangan. Hal ini menunjukkan kurangnya toleransi dan etika dalam berinteraksi dengan perbedaan.
  • Penyebaran Berita Bohong (Hoaks): Kemudahan warganet Indonesia menyebarkan hoax dan berita palsu tanpa melakukan verifikasi, mencerminkan kurangnya kemampuan berpikir kritis (sebuah komponen penting dari kecerdasan).
  • Komentar Negatif dan Agresif: Kecenderungan untuk melontarkan kritik atau komentar dengan bahasa yang sangat kasar, marah, dan agresif (toxic) di berbagai platform media sosial, termasuk di akun figur publik atau isu internasional.
See also  Open BO Booking Online di website Aplikasi X TWITTER dan MICHAT

Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Fenomena “rendahnya nalar kritis publik” di ruang digital Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil tumpang tindih antara warisan budaya, sistem pendidikan, dan pola konsumsi media modern.

1. IQ sebagai Metafora Sosial, Bukan Ukuran Biologis

Istilah “IQ rendah” dalam konteks ini tidak merujuk pada hasil tes psikometrik atau kecerdasan biologis.
Ia hanyalah metafora sosial, menggambarkan bagaimana masyarakat sering kali gagal menggunakan daya nalar dan berpikir logis ketika menanggapi isu publik.

“‘IQ rendah’ di sini bukanlah hasil tes, melainkan label sosial yang muncul dari perilaku digital yang kurang rasional.”

Jadi, persoalannya bukan di otak, tetapi di cara berpikir kolektif. Ketika komentar emosional, pembelaan buta, dan kultus tokoh mendominasi, maka “IQ” di sini menjadi simbol lemahnya budaya berpikir kritis.

2. Budaya Feodal dan Pendidikan Hafalan

Budaya feodal menempatkan “pemimpin” sebagai figur yang tidak boleh dikritik. Dalam sistem sosial yang menekankan hormat dan kepatuhan, perbedaan pendapat sering dianggap sebagai bentuk kurang ajar.

Sistem pendidikan nasional pun masih menanamkan pola pikir hafalan, bukan penalaran.
Anak-anak dibiasakan mencari jawaban benar versi guru atau buku teks, bukan menelusuri mengapa sesuatu benar.
Akibatnya, masyarakat mudah panik terhadap perbedaan dan menganggap kritik sebagai ancaman, bukan bahan refleksi.

3. Algoritma Media Sosial dan Ekonomi Emosi

Media sosial tidak dirancang untuk berpikir, melainkan untuk bereaksi. Algoritma platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) memberi ruang lebih besar bagi konten yang memicu emosi tinggi. Semakin marah, semakin ramai. Semakin sentimental, semakin viral.

Masyarakat pun belajar bahwa cara tercepat untuk “dilihat” adalah dengan emosi, bukan argumen.
Inilah mengapa ruang digital Indonesia sering kali terasa gaduh tapi miskin isi: ramai komentar, sepi pemikiran.

4. Literasi Digital: Data yang Mengkhawatirkan

Menurut Kominfo (2023), tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada pada level “sedang” (3,49 dari 5,00).
Aspek terlemah adalah kemampuan berpikir kritis terhadap informasi — termasuk menilai sumber berita dan memverifikasi fakta sebelum membagikan.

See also  Indonesia (0) vs Malaysia (3): Rakyat Malaysia Lebih Sejahtera dari pada Rakyat Indonesia? Lho Kok Bisa?

Artinya, publik masih rentan terhadap hoaks, narasi emosional, dan klaim yang tak diverifikasi.
Masalahnya bukan di niat jahat, tapi di kebiasaan berpikir dangkal dan impulsif.

5. Dari Reaktif ke Reflektif

Jika kita dijuluki “bangsa ber-IQ rendah” di internet, itu bukan hinaan — melainkan peringatan.
Kita sedang diuji: apakah akan marah dan membantah, atau belajar dan memperbaiki diri.

Bangsa besar bukanlah bangsa yang tak pernah dikritik, melainkan bangsa yang berani bercermin dari kritik paling pedas sekalipun.
Karena hanya dengan keberanian untuk berpikir rasional — bahkan terhadap diri sendiri — kita bisa membuktikan bahwa julukan “IQ rendah” itu hanyalah salah paham yang kelak akan kita patahkan dengan kedewasaan intelektual.

🌟 Kesimpulan


Kita bukan bangsa yang bodoh, hanya bangsa yang belum terbiasa berpikir. Dan tugas kita sebagai warga digital abad ke-21 adalah belajar berpikir lebih jernih sebelum bereaksi, agar dunia melihat bahwa “IQ rendah” itu hanya mitos yang lahir dari kebiasaan kita bereaksi tanpa nalar.

Visited 21 times, 2 visit(s) today