Gaji UMR Rendah di Kabupaten: Sebuah Bentuk Pembodohan Ekonomi yang Memicu PHK Massal di Kota

Ketimpangan upah di Indonesia kini bukan sekadar perbedaan angka di kertas keputusan gubernur. Ia telah menjelma menjadi jurang ekonomi yang membelah negeri ini: antara mereka yang bisa hidup dengan layak dan mereka yang hanya sekadar bertahan.

Di Jabodetabek, seorang pekerja bisa membawa pulang Rp 4,8 hingga Rp 5,3 juta setiap bulan. Namun hanya beberapa jam perjalanan ke arah timur, di Brebes atau Batang, seorang buruh bekerja penuh waktu dengan upah tak lebih dari Rp 2,3 juta. Apakah benar hidup di kabupaten dua kali lebih murah dari di Jakarta? Jawabannya tegas: tidak.


Mitos Murah Hidup di Daerah

Narasi klasik pemerintah daerah berbunyi sederhana: “Biaya hidup di daerah lebih rendah, jadi upahnya pun harus lebih rendah.” Tapi coba lihat harga-harga nyata di lapangan. Beras, minyak goreng, gula pasir, bensin Pertamina, dan iuran BPJS — semuanya memiliki harga nasional. Tidak ada “harga daerah” untuk kebutuhan dasar. Jadi, ketika seorang buruh di Brebes menerima gaji setengah dari pekerja Jakarta, ia tidak otomatis hidup dua kali lebih murah. Ia hanya dua kali lebih miskin.

  • Harga beras di Brebes = sama dengan harga Jakarta
  • Harga minyak goreng di Brebes = sama dengan harga Jakarta
  • Harga Bensin di Brebes = sama dengan harga Jakarta
  • Iuran BPJS di Brebes = sama dengan nilai iuran Jakarta

Di sinilah letak “pembodohan ekonominya”. Pemerintah mengasumsikan perbedaan biaya hidup yang tidak pernah benar-benar ada, sementara pekerja menanggung selisih upah yang nyata terasa setiap akhir bulan.


Ketimpangan yang Mendorong Urbanisasi dan Kemiskinan

Perbedaan upah bukan hanya masalah angka, tetapi arah arus manusia. Para lulusan muda dan pekerja terampil daerah lebih memilih hijrah ke Jakarta atau Bekasi, bukan karena ingin hidup glamor, tapi karena upah di kampung sendiri tak cukup untuk hidup wajar. Inilah sebabnya mengapa desa kehilangan tenaga produktif, sementara kota menanggung beban urbanisasi tanpa henti. Daerah kehilangan potensi terbaiknya — sebuah brain drain domestik yang jarang dibicarakan tapi nyata menghantui.

See also  Slang Penyebutan “Orang Jerman"

Ironisnya, mereka yang memilih tetap tinggal justru terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan: upah rendah → daya beli rendah → usaha kecil mati → lapangan kerja tak tumbuh → upah tetap rendah. Sebuah siklus tanpa ujung yang melemahkan ekonomi lokal dari dalam.


Ketika Murahnya Upah Menjadi Bumerang Nasional

UMR rendah di kabupaten sering dianggap “strategi jitu menarik investor.” Namun efek jangka panjangnya justru menghantam ekonomi nasional. Perusahaan padat karya — seperti garmen, tekstil, dan alas kaki — kini ramai-ramai relokasi dari Jabodetabek ke Jawa Tengah. Mereka mengejar “efisiensi biaya” yang artinya: mengurangi manusia menjadi angka murah di laporan keuangan.

Hasilnya? Ribuan buruh di Bekasi dan Tangerang terkena PHK, sementara buruh baru di Batang dan Brebes bekerja dengan upah tak cukup untuk menabung, apalagi menyejahterakan keluarga. Kita sedang menyaksikan zero-sum game di mana pekerja di satu daerah kehilangan pekerjaan agar pekerja di daerah lain bisa hidup pas-pasan. Apakah ini yang disebut pemerataan?


UMR Bukan Sekadar Angka — Tapi Instrumen Keadilan

Jika upah minimum daerah hanya dijadikan alat untuk menekan biaya tenaga kerja, maka kebijakan itu telah kehilangan ruh sosialnya. UMR seharusnya menjadi benteng kesejahteraan, bukan sekadar variabel ekonomi untuk menekan ongkos produksi.

Sudah saatnya pemerintah pusat mengoreksi logika lama perhitungan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang tidak lagi layak di zaman ini. Kebutuhan dasar masyarakat 2025 bukan hanya beras dan sabun, tapi juga kuota internet, transportasi digital, dan biaya kesehatan modern. Mengabaikan faktor-faktor itu berarti menutup mata terhadap kenyataan hidup pekerja zaman sekarang.

Selain itu, perlu ada batas kewajaran disparitas UMR antarwilayah, terutama di Pulau Jawa. Selisih maksimal 20–30 persen masih bisa ditoleransi. Tapi ketika upah di satu wilayah dua kali lipat wilayah lain, itu bukan efisiensi — itu eksploitasi terselubung.

See also  Slang Penyebutan "Orang Kulit Hitam Afro America"

Kesimpulan: UMR Rendah Adalah Kebijakan yang Tidak Cerdas

Negara tidak bisa membangun ekonomi kuat di atas fondasi upah murah. Kita boleh bangga dengan investasi yang masuk ke daerah, tapi bila investasi itu berdiri di atas kesejahteraan rakyat yang direm, itu bukan kemajuan — itu kemunduran yang dibungkus statistik.

Maka, ketika pemerintah daerah membanggakan “UMR kami rendah, investor senang,” seharusnya publik bertanya:
Siapa yang sebenarnya diuntungkan? Dan siapa yang sedang dibodohi oleh sistem yang seolah-olah rasional, padahal sesat dalam kemanusiaan?

Visited 4 times, 1 visit(s) today