Dari Kramat Tunggak ke Gang Dolly: Sejarah Panjang Wisata Seks di Indonesia

Dari Kramat Tunggak ke Gang Dolly: Sejarah Panjang Wisata Seks di Indonesia

Fenomena prostitusi di Indonesia selalu berada di persimpangan: antara kenyataan sosial, hukum agama, dan kebutuhan ekonomi. Sejak masa kolonial, praktik prostitusi sudah ada di kota-kota besar. Setelah 1945, saat Republik berdiri, industri seks bukannya hilang—justru tumbuh dalam bentuk lokalisasi resmi. Beberapa kawasan kemudian menjadi legenda: Kramat Tunggak (Jakarta), Sunan Kuning (Semarang), Saritem (Bandung), dan Gang Dolly (Surabaya).

Akar Sebelum 1945

Pada masa kolonial Belanda, prostitusi berkembang mengikuti jalur perdagangan dan perkotaan. Batavia, Semarang, Surabaya, hingga Medan punya “wijk” atau kawasan hiburan yang menyediakan rumah bordil. Belanda bahkan pernah mengatur izin bordil, dengan alasan kesehatan publik (pemeriksaan penyakit kelamin).

Jadi, ketika Indonesia merdeka 1945, praktik prostitusi bukan hal baru. Bedanya, pemerintah Republik tidak melegalkan secara hukum, tetapi di banyak kota justru membuat lokalisasi resmi untuk “mengontrol” prostitusi agar tidak menyebar liar.

Era Ramai: 1950–1990-an

Tiga dekade setelah kemerdekaan, kota-kota besar membangun lokalisasi prostitusi. Tujuannya resmi: memusatkan praktik di satu kawasan, sehingga lebih mudah diawasi dan dikaitkan dengan program kesehatan. Di sinilah nama-nama besar lahir:

  • Kramat Tunggak, Jakarta
    Dibuka tahun 1972 di Tanjung Priok, kawasan ini pernah disebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, menampung sekitar 3.000 PSK dan ribuan pekerja informal lainnya. Ia menjadi “raja hiburan malam” Jakarta selama 30 tahun.
  • Sunan Kuning, Semarang
    Mulai dikenal sejak 1960-an, lokalisasi ini berdiri dekat makam Sunan Kuning (seorang tokoh lokal). Dengan ratusan wisma, Sunan Kuning tumbuh sebagai ikon wisata malam Semarang.
  • Saritem, Bandung
    Sejarahnya lebih tua—bahkan disebut sudah eksis sejak 1800-an, ketika kawasan itu jadi tempat mangkal perempuan penghibur bagi pekerja perkebunan Belanda. Pada 1970–1990-an, Saritem menjadi bagian dari wajah “Bandung malam.”
  • Gang Dolly, Surabaya
    Didirikan oleh seorang perempuan keturunan Belanda bernama Dolly Khavit pada 1967, kawasan ini kemudian berkembang pesat hingga disebut lokalisasi terbesar di Asia Tenggara (menggantikan reputasi Kramat Tunggak). Puncaknya, Dolly menampung lebih dari 1.000 wisma dan 10.000-an PSK.
See also  Alokasi Anggaran Tahunan Untuk TNI AD AL AU dan Kepolisian Republik Indonesia

Era 1970–1990-an bisa dibilang masa keemasan lokalisasi di Indonesia: terbuka, terang-terangan, dan bahkan “ditoleransi” sebagai sumber ekonomi daerah.

Penutupan: Dari Kramat Tunggak ke Dolly

Mulai awal 2000-an, arah politik berubah. Dorongan moral, tekanan agama, dan program pemberantasan penyakit menular seksual membuat pemerintah kota mulai menutup lokalisasi satu per satu.

  • Kramat Tunggak ditutup pada 2002 oleh Gubernur DKI Sutiyoso. Bekas kawasan prostitusi itu kemudian diubah menjadi Islamic Centre Jakarta.
  • Saritem ditutup 2007 oleh Wali Kota Dada Rosada, meski aktivitas prostitusi sempat terus berjalan secara sembunyi-sembunyi.
  • Gang Dolly ditutup resmi 2014 oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Penutupan ini jadi tonggak karena Dolly adalah simbol prostitusi Indonesia.
  • Sunan Kuning sempat ditutup 2019 oleh Pemkot Semarang, namun laporan lapangan menunjukkan sebagian aktivitas tetap berlangsung secara bawah tanah.

Dengan penutupan itu, pemerintah menyatakan ingin menghapus “industri maksiat.” Namun kenyataan sosial lebih rumit.

Kondisi Sekarang: Hilang atau Berubah Wajah?

Secara resmi, lokalisasi prostitusi di Indonesia dinyatakan tutup. Namun dalam praktiknya, prostitusi tetap hidup, hanya bergeser bentuk dan lokasi:

  • Kramat Tunggak kini berdiri Islamic Centre Jakarta—tetapi prostitusi tetap ada di apartemen, kafe, dan layanan daring.
  • Sunan Kuning memang ditutup, namun investigasi media (2020-an) masih menemukan wisma beroperasi secara diam-diam.
  • Saritem, Bandung, meski dirazia berkali-kali, masih menyisakan aktivitas prostitusi tersembunyi di gang-gang.
  • Gang Dolly, Surabaya kini menjadi kawasan UMKM dan pemukiman, tapi banyak PSK berpindah ke kota lain atau beralih ke prostitusi online.

Kini, prostitusi di Indonesia memasuki era baru: digitalisasi. Media sosial, aplikasi pesan, dan layanan daring menggantikan lokalisasi fisik. Fenomena ini membuat praktik lebih sulit diawasi, sekaligus menandakan bahwa menutup kawasan fisik tidak otomatis menghapus industri seks.

See also  Perbedaan Timur Tengah (Middle East) dengan Timur Dekat (Near East)

Penutup

Sejak zaman kolonial, prostitusi selalu hadir di kota-kota besar Indonesia. Setelah merdeka, praktik itu diformalkan lewat lokalisasi seperti Kramat Tunggak, Saritem, Sunan Kuning, dan Gang Dolly. Era 1970–1990-an adalah masa jaya, sebelum gelombang penutupan datang: dari Sutiyoso, Dada Rosada, hingga Tri Rismaharini.

Hari ini, kawasan itu tinggal nama. Namun industri seks tidak benar-benar hilang; ia hanya bergeser, dari lorong-lorong Dolly ke layar ponsel pintar.

Visited 5 times, 1 visit(s) today