Poligami di Masa Kerajaan Kuno Nusantara (Pra Islam)

Praktik poligami pada masa kerajaan kuno, termasuk di Nusantara, adalah hal yang umum dan legal. Praktik ini tidak terbatas pada kalangan raja atau bangsawan saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum. Namun, tujuan dan pelaksanaannya berbeda-beda di setiap lapisan masyarakat.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait poligami di masa kerajaan kuno:

  • Tujuan Politis: Di kalangan raja dan bangsawan, poligami seringkali digunakan sebagai alat untuk memperluas kekuasaan dan memperkuat aliansi politik. Raja menikahi putri dari kerajaan lain untuk menjalin hubungan diplomatik dan mencegah peperangan.
  • Status Sosial dan Keturunan: Memiliki banyak istri dan selir dianggap sebagai simbol kekuasaan, kejantanan, dan kemuliaan bagi seorang raja. Semakin banyak istri, semakin kuat posisinya. Selain itu, poligami juga bertujuan untuk memperbanyak keturunan, terutama laki-laki, yang akan menjadi pewaris takhta atau penguasa di masa depan.
  • Perbedaan Istri dan Selir: Meskipun seorang raja bisa memiliki banyak istri dan selir, status mereka tetap dibedakan. Istri resmi (disebut garwa padmi di Jawa) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan perannya lebih penting dalam urusan kerajaan, sedangkan selir (garwa ampeyan) umumnya memiliki status yang lebih rendah.
  • Tidak Ada Batasan Jumlah: Pada masa pra-Islam, terutama di banyak peradaban kuno, tidak ada batasan jumlah istri. Seorang raja bisa memiliki puluhan, bahkan ratusan istri dan selir. Hal ini berbeda dengan hukum yang datang kemudian, seperti dalam Islam, yang membatasi jumlah istri menjadi maksimal empat orang dengan syarat tertentu.
  • Sastra dan Kebudayaan: Kesusastraan kuno, seperti kakawin dan serat, sering menggambarkan praktik poligami sebagai hal yang damai. Misalnya, dalam Ramayana, Raja Dasaratha memiliki tiga permaisuri yang hidup harmonis tanpa saling cemburu. Ini menunjukkan bahwa poligami telah menjadi bagian integral dari budaya dan tatanan sosial pada masa itu.
  • Kedudukan Wanita: Di beberapa peradaban kuno, poligami juga mencerminkan pandangan bahwa wanita memiliki kedudukan yang lebih rendah. Wanita terkadang dianggap sebagai barang warisan atau budak, dan nilai mereka ditentukan oleh seberapa tinggi harga jualnya.
See also  Perbandingan Ukuran Kelamin Penis dan Buah Dada Payudara Manusia Vs Kelompok Monyet

Secara keseluruhan, poligami di masa kerajaan kuno (termasuk abad ke-1 hingga ke-10 Masehi) adalah praktik yang sangat umum dan diterima secara sosial. Hal ini didorong oleh berbagai faktor, mulai dari politik, status sosial, hingga kebutuhan akan keturunan.

Visited 5 times, 1 visit(s) today