Jadi Raja Kertanegara tidak sedang Melakukan ritual Keagamaan dengan Seks Orgy saat tentara Mongol Menyerang Kerajaan Singasari?

Terdapat sebuah narasi yang sangat populer dan sering muncul dalam berbagai sumber, baik sejarah maupun fiksi. Narasi tersebut menyatakan bahwa Raja Kertanegara sedang mengadakan ritual keagamaan yang melibatkan pesta pora seksual (seks orgy) ketika pasukan Jayakatwang datang menyerang, yang kemudian memicu kekalahannya.

Namun, penting untuk mengkaji narasi ini dari sudut pandang sejarah yang lebih kritis.


Konteks Sejarah Kekalahan Kertanegara

Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singasari yang berkuasa pada abad ke-13. Ia dikenal sebagai raja yang kuat dan visioner, dengan ambisi untuk menyatukan Nusantara di bawah bendera Singasari, sebuah program yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu.

Kekalahan dan wafatnya Kertanegara pada tahun 1292M terjadi karena serangan mendadak dari Jayakatwang, adipati dari Kadiri yang merupakan vasal Singasari. Serangan ini berhasil mengejutkan Kertanegara karena sebelumnya Jayakatwang telah membuat siasat cerdik. Ia membuat Kertanegara lengah dengan berpura-pura menyerang dari arah utara, sehingga semua pasukan Singasari dikerahkan untuk menghadapi serangan tersebut. Namun, Jayakatwang justru menyerang dari arah selatan, langsung ke pusat istana di Singasari yang sudah tidak terlindungi.


Mitos atau Fakta: Ritual dan Orgy

Narasi yang menyebutkan Kertanegara sedang melakukan ritual seks saat diserang berasal dari beberapa sumber, tetapi kebenarannya diragukan oleh para sejarawan.

  • Sumber Sejarah Utama: Dua sumber sejarah utama yang paling tepercaya untuk era ini adalah Nagarakertagama dan Pararaton. Keduanya tidak secara eksplisit menyebutkan Kertanegara sedang melakukan pesta pora seksual atau orgy. Nagarakertagama bahkan menggambarkan Kertanegara sebagai seorang pemimpin spiritual yang saleh.
  • Ritual Tantrayana: Kertanegara dikenal sebagai penganut aliran Buddha Tantrayana, khususnya Tantrayana Bhairawa. Ritual Tantrayana memang dikenal sangat kompleks, dan beberapa di antaranya menggunakan simbolisme yang bisa disalahartikan sebagai “orgy.” Dalam beberapa aliran Tantra, ada ritual yang melibatkan simbol-simbol seksual atau penyatuan energi maskulin dan feminin untuk mencapai pencerahan. Namun, ini adalah ritual spiritual yang sangat terstruktur, bukan pesta pora tanpa aturan.
  • Tafsiran Pararaton: Sumber ini, yang ditulis jauh setelah peristiwa itu terjadi, menggambarkan Kertanegara sedang melakukan ritual minum-minum. Beberapa sejarawan menafsirkan “minum-minum” ini sebagai ritual Tantrayana, dan dari sini, gagasan tentang “pesta pora” mungkin berkembang.
See also  Ukuran Buah Dada dan Jenis Diet Makanan

Kesimpulan

Narasi bahwa Kertanegara sedang melakukan “gang bang” atau “seks orgy” saat diserang oleh Jayakatwang kemungkinan besar adalah penyimpangan atau kesalahan penafsiran dari ritual Tantrayana yang dianutnya. Ritual ini, yang mungkin melibatkan simbolisme seksual atau minuman, disalahartikan oleh penulis sejarah atau masyarakat umum sebagai pesta pora.

Para sejarawan cenderung sepakat bahwa kejatuhan Kertanegara lebih disebabkan oleh kelemahan strategi politik dan militernya, yaitu penarikan pasukan dari Singasari untuk menghadapi serangan palsu. Mitos “seks orgy” kemungkinan besar muncul untuk menambah drama pada kisah kejatuhannya dan menstigmatisasi praktik spiritual yang tidak dipahami oleh masyarakat umum.

Apa Narasi Tersebut?

Dalam diskusi sebelumnya, narasi yang sangat populer dan sering muncul dalam berbagai sumber, terutama yang Anda sebutkan, adalah tentang Raja Kertanegara yang sedang mengadakan ritual keagamaan yang melibatkan seks orgy ketika ia diserang oleh tentara Jayakatwang.

Narasi tersebut pada dasarnya adalah cerita yang mengklaim bahwa kejatuhan Kertanegara, raja terakhir Singasari, bukan hanya karena kelemahan strategis, tetapi juga karena kelalaian moral dan spiritualnya. Cerita ini menggambarkan Kertanegara sebagai seorang raja yang terlalu asyik dengan ritual-ritual spiritual yang disalahartikan sebagai pesta pora, sehingga ia lengah dan tidak siap menghadapi serangan musuh.

Dari Mana Narasi Ini Berasal?

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, narasi ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam sumber-sumber sejarah yang paling tepercaya, seperti Nagarakertagama. Sebaliknya, narasi ini tampaknya merupakan hasil dari:

  1. Interpretasi yang salah: Kertanegara adalah penganut aliran Buddha Tantrayana, khususnya Tantrayana Bhairawa. Beberapa ritual dalam aliran ini menggunakan simbolisme seksual atau minuman keras untuk tujuan spiritual. Praktik ini kemudian disalahartikan sebagai “pesta pora” atau “orgy” oleh pihak luar yang tidak memahami maknanya.
  2. Penafsiran sumber sejarah: Beberapa sumber, seperti Pararaton, yang ditulis jauh setelah peristiwa itu, menyebutkan Kertanegara sedang “minum-minum” saat diserang. Kata “minum-minum” ini ditafsirkan sebagai ritual, yang kemudian digabungkan dengan anggapan-anggapan tentang Tantrayana, sehingga menciptakan narasi tentang pesta pora.
  3. Dramatisasi dan fiksi: Narasi ini menjadi populer karena menambah elemen dramatis pada kisah kejatuhan seorang raja besar. Kisah ini seringkali digunakan dalam karya sastra, film, atau cerita rakyat untuk membuat cerita lebih menarik dan mudah diingat.
See also  Pros & Cons Hidup dan Berkarir di Indonesia

Secara ringkas, narasi yang Anda maksud adalah kisah dramatisasi dari ritual keagamaan Raja Kertanegara yang disalahartikan sebagai pesta pora seksual, yang kemudian dihubungkan dengan penyebab kekalahannya. Narasi ini tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah yang kuat, melainkan lebih merupakan produk dari interpretasi yang keliru dan dramatisasi cerita.

Visited 9 times, 1 visit(s) today