
Konsumsi daging anjing di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan memicu perdebatan. Praktik ini terjadi di beberapa daerah, dan pemahaman tentangnya memerlukan tinjauan dari berbagai sudut pandang.
Daerah Konsumsi Daging Anjing di Indonesia
Meskipun konsumsi daging anjing tidak umum di seluruh Indonesia, ada beberapa daerah di mana praktik ini masih terjadi, terutama di kalangan kelompok etnis tertentu.
- Sumatra: Di wilayah Sumatra Utara, khususnya di kalangan etnis Batak, konsumsi daging anjing, yang dikenal sebagai “B1”, merupakan bagian dari tradisi kuliner untuk acara-acara khusus. Daging anjing biasanya diolah dengan bumbu pedas atau dibakar.
- Solo (Jawa Tengah): Di Solo, konsumsi daging anjing dikenal dengan sebutan “sate jamu” atau “sate guguk”. Praktik ini sering dikaitkan dengan kepercayaan bahwa daging anjing memiliki khasiat obat untuk menghangatkan tubuh atau menyembuhkan penyakit tertentu. Meskipun begitu, praktik ini kontroversial dan menghadapi penolakan dari banyak pihak.
- Indonesia Timur: Beberapa daerah di Sulawesi Utara dan Papua juga memiliki tradisi konsumsi daging anjing. Di Minahasa (Sulawesi Utara), daging anjing dikenal sebagai “rica-rica RW” (anjing diolah dengan bumbu rica-rica) dan sering dihidangkan di restoran atau warung makan.
Istilah “tengsu” memang merupakan singkatan dari “tongseng asu”, di mana “asu” adalah bahasa Jawa untuk anjing. Hidangan ini dikenal luas di Solo sebagai salah satu olahan daging anjing yang banyak dicari oleh penikmatnya. Praktik penjualan tongseng asu di Solo memang ada, dan biasanya dijual di warung-warung sederhana. Selain tongseng, warung-warung ini juga menawarkan menu olahan daging anjing lainnya seperti sate, rica-rica, dan grabyasan (daging anjing goreng).
Beberapa hal yang perlu Anda ketahui mengenai tongseng asu di Solo:
- Penyebutan: Para penjual dan penikmat kuliner ini sering menggunakan kode atau sebutan lain seperti “sate jamu” atau “sate guguk” untuk menghindari kontroversi.
- Pusat Penjualan: Warung-warung yang menjual olahan daging anjing ini tersebar di beberapa lokasi di Solo, dan seringkali tidak mencantumkan nama secara terang-terangan.
- Kontroversi: Konsumsi dan perdagangan daging anjing ini sangat kontroversial. Pemerintah Kota Solo kesulitan melarangnya karena dianggap sebagai bagian dari tradisi kuliner bagi sebagian masyarakat, meskipun banyak aktivis hewan dan pihak berwenang terus berupaya menghentikan praktik ini karena alasan kesejahteraan hewan dan risiko kesehatan, terutama terkait penyakit rabies.
Penjualan Daging Anjing di Warung dan Restoran
Di daerah-daerah tempat konsumsi daging anjing lazim, penjualan biasanya dilakukan secara tertutup. Penjual sering kali tidak secara terang-terangan menuliskan “daging anjing” pada papan nama mereka, melainkan menggunakan kode atau singkatan seperti “B1” atau “RW” untuk menghindari masalah. Warung-warung ini sering kali merupakan warung tenda sederhana atau restoran kecil yang melayani pelanggan tetap.
Sumber Daging Anjing: Peternakan atau Pencurian?
Sumber daging anjing untuk konsumsi bisa berasal dari dua cara utama:
- Peternakan Anjing: Beberapa anjing dipelihara secara khusus untuk dikonsumsi. Meskipun ini tidak sebanyak peternakan hewan ternak lainnya, ada peternakan skala kecil yang berfokus pada anjing. Namun, seringkali kondisi sanitasi dan kesejahteraan hewan di peternakan ini sangat buruk, yang menjadi salah satu alasan kelompok kesejahteraan hewan menentang praktik ini.
- Pencurian Anjing: Kasus pencurian anjing peliharaan juga sering terjadi. Pencurian ini didorong oleh permintaan pasar gelap untuk daging anjing. Anjing-anjing yang dicuri dari jalanan atau halaman rumah sering kali dijual ke pengepul atau langsung ke rumah makan. Isu ini sangat meresahkan bagi pemilik anjing karena memicu kekhawatiran dan ketakutan akan keselamatan hewan peliharaan mereka.
Penting untuk dicatat bahwa konsumsi daging anjing di Indonesia menghadapi tentangan keras dari berbagai kelompok, termasuk para aktivis kesejahteraan hewan, dokter hewan, dan beberapa tokoh agama, yang
Peternakan Anjing untuk Dimakan
Di Indonesia, “peternakan anjing” dapat merujuk pada dua hal yang sangat berbeda:
- Peternakan anjing ras (kennel): Ini adalah tempat pembiakan anjing-anjing murni untuk dijual sebagai hewan peliharaan, seperti Golden Retriever, Poodle, Rottweiler, dan lain-lain. Peternakan semacam ini ada di berbagai kota besar di Indonesia.
- Tempat penampungan atau pengepulan anjing untuk konsumsi: Ini adalah tempat di mana anjing-anjing dikumpulkan, baik dari hasil peternakan kecil, anjing liar, maupun anjing curian, sebelum didistribusikan ke rumah makan atau warung yang menjual daging anjing. Ini yang seringkali menjadi sorotan karena isu kesejahteraan hewan.
Meskipun secara teknis ada anjing yang sengaja dibiakkan untuk dikonsumsi, sebagian besar anjing yang diperdagangkan untuk daging berasal dari jaringan pengepulan yang mengumpulkan anjing dari berbagai sumber.
Berikut adalah beberapa daerah yang dikenal sebagai pusat perdagangan atau pemasok anjing untuk konsumsi:
- Solo Raya (Jawa Tengah): Wilayah ini, khususnya di Sragen, dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan anjing terbesar di Indonesia. Anjing-anjing dari berbagai daerah, termasuk Jawa Barat dan Jawa Timur, dikumpulkan di sini sebelum disalurkan ke warung-warung di Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya.
- Jawa Barat: Beberapa kabupaten di Jawa Barat seperti Garut, Sumedang, Subang, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya disebut sebagai pusat pasokan utama anjing yang dikirim ke Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
- Sulawesi Utara: Di wilayah ini, khususnya di Minahasa dan Pasar Tomohon, perdagangan daging anjing merupakan hal yang sudah lama ada. Meskipun ada upaya dari pemerintah dan aktivis untuk menghentikan praktik ini, perdagangan masih terjadi.
Penting untuk dicatat bahwa perdagangan anjing untuk konsumsi ini seringkali ilegal dan tidak diatur. Banyak kasus penangkapan truk pengangkut anjing yang dikirim dalam kondisi buruk dan tidak higienis, yang menunjukkan bahwa praktik ini melanggar berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang tentang Kesehatan Hewan.
Berbagai organisasi seperti Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) aktif mengkampanyekan penghentian perdagangan daging anjing ini karena kekhawatiran akan kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat (risiko penyebaran rabies), dan etika.