Pada era Viking, yang secara umum dianggap terjadi dari sekitar 800 M hingga 1066 M, praktik pernikahan sangat bervariasi tergantung pada status sosial dan kekayaan seseorang.
Monogami dan Poligami
Monogami adalah norma yang berlaku untuk sebagian besar masyarakat Viking. Pernikahan, terutama di kalangan petani dan masyarakat biasa, adalah urusan praktis yang bertujuan untuk menjalin aliansi antar keluarga, bukan hanya soal cinta. Pernikahan ini melibatkan perjanjian antara kedua keluarga, termasuk masalah mahar dan warisan.
Meskipun monogami adalah ideal, poligami—khususnya poligini (satu pria memiliki banyak istri)—dipraktikkan oleh para pria elit dan berkuasa, seperti para raja, jarl (bangsawan), dan saudagar kaya. Memiliki lebih dari satu istri adalah tanda kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Hal ini diyakini menyebabkan ketidakseimbangan gender di antara populasi, di mana pria-pria biasa kesulitan menemukan pasangan, yang bisa jadi menjadi salah satu faktor yang mendorong mereka untuk berlayar dan menjarah di luar negeri.
Gundik (Concubinage) dan Prostitusi
Praktik memiliki gundik (frilla dalam bahasa Nordik kuno) juga umum di kalangan pria kaya. Seorang gundik biasanya memiliki status sosial lebih rendah dari istri sah dan tidak memiliki perlindungan hukum yang sama, tetapi ia bisa menjadi pasangan jangka panjang. Anak-anak yang lahir dari hubungan ini dapat diakui oleh ayah mereka, meskipun hak waris mereka tidak setara dengan anak-anak dari istri sah.
Prostitusi juga ada, terutama di kota-kota pelabuhan dan pasar budak. Banyak wanita yang menjadi korban perbudakan dari penjarahan Viking berakhir sebagai budak seks. Meskipun demikian, ada beberapa bukti bahwa prostitusi tidak dianggap sebagai dosa besar sebelum kedatangan agama Kristen, tetapi lebih dipandang sebagai masalah sosial yang berkaitan dengan kekacauan dan kenakalan.