Meskipun catatan mengenai kurban manusia atau perawan di India kuno (2000 SM – 1600 Masehi) tidak sebanyak dan eksplisit seperti di peradaban Mesoamerika, terdapat indikasi dan perdebatan mengenai praktik tersebut dalam berbagai periode dan tradisi:
Periode Veda (sekitar 1500 – 500 SM):
- Purushamedha: Ritual Purushamedha (“pengorbanan manusia”) disebutkan dalam Yajur Veda. Namun, para sarjana memperdebatkan apakah ritual ini benar-benar melibatkan pembunuhan manusia atau bersifat simbolis. Beberapa interpretasi menyatakan bahwa “korban” hanya diikat ke tiang dan kemudian dibebaskan. Catatan inskripsi atau arkeologis yang membuktikan pelaksanaan Purushamedha sebagai kurban manusia yang sebenarnya sangat sedikit.
- Kisah Sunahsepa: Aitareya Brahmana menceritakan kisah Raja Harischandra yang berjanji untuk mengorbankan putranya kepada dewa Varuna. Akhirnya, seorang anak laki-laki pengganti bernama Sunahsepa ditawarkan, tetapi ia diselamatkan oleh dewi Ushas. Kisah ini mungkin mengindikasikan adanya tradisi kurban manusia yang kemudian digantikan oleh kurban simbolis atau hewan.
Periode Epik dan Purana (sekitar 500 SM – 500 Masehi):
- Referensi Sporadis: Terdapat beberapa referensi dalam Mahabharata dan Purana yang menyinggung atau mengecam kurban manusia. Misalnya, dalam Mahabharata, Krishna mengecam seorang raja yang mencoba mengorbankan raja-raja lain kepada dewa Rudra. Bhagavata Purana secara eksplisit mengutuk kurban manusia dan kanibalisme.
- Kemungkinan Praktik Lokal atau Terisolasi: Meskipun ajaran Hindu arus utama umumnya tidak mendukung kurban manusia, mungkin ada praktik-praktik terisolasi atau di kalangan sekte tertentu. Bukti untuk ini sangat terbatas.
Periode Pertengahan dan Akhir (sekitar 500 – 1600 Masehi):
- Sati: Praktik Sati (pembakaran janda di atas tumpukan jenazah suaminya) menjadi lebih umum pada periode ini, meskipun asal-usulnya diperdebatkan. Beberapa sarjana melihatnya sebagai bentuk pengorbanan diri (meskipun seringkali di bawah tekanan sosial). Sati tidak secara langsung merupakan pengorbanan kepada dewa, tetapi merupakan ritual yang terkait dengan kematian dan status perempuan.
- Devadasi: Sistem Devadasi melibatkan pengabdian gadis-gadis muda kepada kuil dan dewa. Awalnya, mereka memiliki status yang terhormat dan terlibat dalam tarian dan musik ritual. Namun, seiring waktu, sistem ini sering kali merosot menjadi eksploitasi seksual. Meskipun bukan kurban dalam arti tradisional, ini melibatkan pengabdian hidup seorang wanita untuk tujuan keagamaan dan sering kali dieksploitasi.
- Narabali: Istilah Narabali secara harfiah berarti “kurban manusia” dan tercatat dalam beberapa teks dan tradisi rakyat, seringkali dikaitkan dengan sekte Tantra atau pemujaan dewi-dewi tertentu. Namun, bukti historis dan arkeologis mengenai praktik Narabali yang meluas dan terinstitusi selama periode ini masih diperdebatkan. Beberapa catatan mungkin merujuk pada praktik simbolis atau ritual yang tidak melibatkan pembunuhan sebenarnya.
Pengorbanan Perawan Secara Spesifik:
Seperti di wilayah lain, bukti spesifik mengenai pengorbanan perawan sebagai kategori korban yang berbeda di India kuno sangat terbatas dan tidak menonjol dalam catatan yang ada. Sementara wanita mungkin saja menjadi korban dalam ritual kurban manusia (jika memang terjadi), fokusnya biasanya bukan pada status keperawanan mereka.
Kesimpulan:
Meskipun terdapat referensi dan kemungkinan praktik kurban manusia di India kuno, terutama dalam periode Veda awal dan mungkin dalam bentuk-bentuk lokal atau terisolasi di periode selanjutnya, skala dan sifatnya tidak sejelas dan sebesar di peradaban seperti Aztec. Praktik Sati dan sistem Devadasi melibatkan perempuan dalam konteks ritual dan keagamaan, tetapi tidak secara langsung sesuai dengan definisi tradisional kurban manusia atau perawan. Bukti arkeologis yang kuat untuk kurban manusia secara umum di India kuno masih kurang, dan banyak ritual yang disebutkan dalam teks mungkin bersifat simbolis.