Jadi dari sumber Underground situs Kaskus jaman dulu, seorang penjual Kue Apem di Apartemen sekitar daerah Kalibata di Jakarta Selatan, menawarkan sbb:
- Pelacur so-so tinggi 160 cm berat 60kg Tarif per jam adalah IDR500,000 sd IDR1,000,000
- Pelacur yang cantik putih montok adalah IDR2,000,000 sd IDR10,000,000
- Dalam 1 hari bisa melayani 3 sd 4 shift untuk 3 sd 4 burung perkutut pria hidung belang orang, misal jam 09.oo-10.oo, jam 11.oo-12.00, istirahat makan, jam 15.oo-16.00 dan mungkin jam 19.oo sd 20.oo
- Artis Cantik IDR20,000,000 sd IDR100,000,000 1 malam
- Wanita di pinggir jalan dimana Abang Sopir Truk sering mengerem, IDR200,000 sd IDR500,000
- Waria : seikhlasnya (hahaha)
Berikut pendekatan dari UMR daerah
1. Pendekatan Analisis
- UMR (Upah Minimum Regional) ditetapkan resmi oleh pemerintah per provinsi/kota, biasanya mencerminkan biaya hidup minimum.
- Tarif jasa ilegal (misalnya prostitusi) umumnya mengikuti:
- Lokasi (kota besar tarif lebih tinggi, kota kecil lebih rendah).
- Daya beli konsumen (di kota besar lebih banyak kelas menengah ke atas).
- Risiko hukum (semakin tinggi risiko, biasanya semakin tinggi tarif).
🔹 2. Pola Umum yang Dilaporkan di Penelitian/Media
- Kota besar (Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, Batam): tarif prostitusi bisa mencapai beberapa kali lipat UMR harian, bahkan mendekati atau melebihi UMR bulanan untuk kategori “kelas atas”.
- Kota kecil/daerah: tarif biasanya jauh di bawah UMR bulanan, bahkan ada yang setara UMR harian.
- Perbandingan kasar (literatur & laporan media):
- Kota besar: tarif ≈ 5–15% dari UMR bulanan untuk layanan sekali.
- Kota kecil: tarif ≈ 1–5% dari UMR bulanan untuk layanan sekali.
🔹 3. Implikasi Ekonomi
- Prostitusi sering dijadikan sumber penghasilan alternatif yang dalam banyak kasus lebih tinggi daripada upah minimum di sektor formal.
- Menunjukkan adanya kesenjangan antara UMR dengan kebutuhan ekonomi nyata.
- Bisa menjadi indikator adanya ekonomi bayangan (shadow economy) yang signifikan di Indonesia
Visited 10 times, 1 visit(s) today