Praktek Budaya Sparta: Membuang Bayi Cacat demi Masyarakat yang “Sehat” (tidak ada Anak Down Syndrome dsb)

Latar Belakang

Sparta dikenal dalam sejarah Yunani Kuno sebagai negara-kota (polis) yang menjadikan militer sebagai pusat kehidupan warganya. Berbeda dengan Athena yang menekankan filsafat, seni, dan demokrasi, Sparta menjadikan kekuatan fisik, disiplin, dan keseragaman sebagai fondasi utama. Sejak kecil, anak-anak laki-laki dipersiapkan untuk menjadi prajurit dalam sistem pendidikan militer keras bernama agoge.

Dalam kerangka itu, setiap individu harus menjadi bagian dari mesin militer yang sempurna. Bayi atau anak yang cacat, lemah, atau dianggap tidak mampu berkontribusi pada kehidupan militer dianggap beban bagi negara. Dari sinilah muncul kebiasaan membuang bayi cacat yang kelak menjadi salah satu aspek paling kontroversial dalam sejarah Sparta. Jadi sudah hal biasa suatu keluarga mengirim (membuang) bayi dan atau anak balita yang cacat anggota badan, anak buta, anak bisu, anak tuli, anak dengan down syndrome, anak autisme dan anak pengidap epilepsi ke suatu lembah atau gunung dan ditinggalkan sampai meninggal dunia.

Kapan Terjadi?

Praktik ini terutama berlangsung pada periode kejayaan Sparta, sekitar abad ke-7 hingga abad ke-4 SM, saat Sparta menjadi kekuatan dominan di Yunani. Catatan sejarah yang paling sering dikutip berasal dari sejarawan Yunani, Plutarch, yang menulis biografi tokoh legendaris Sparta, Lycurgus. Ia menyebutkan bahwa bayi baru lahir diperiksa oleh dewan tetua (gerousia). Jika ditemukan cacat atau lemah, bayi akan dibuang ke sebuah lembah di Gunung Taygetos.

Prakteknya di Negara Mana Saja?

  • Sparta (Yunani Kuno): Sparta adalah contoh paling terkenal dan terdokumentasi.
  • Polis Yunani lainnya: Ada indikasi bahwa praktik serupa terjadi di beberapa negara-kota Yunani lain, meski tidak seketat Sparta.
  • Bangsa kuno lain: Infanticide (pembunuhan bayi) bukan monopoli Yunani. Beberapa masyarakat kuno, termasuk Romawi, Kelt, dan bahkan peradaban Timur tertentu, juga mengenal praktik menyingkirkan bayi cacat atau yang dianggap “tidak diinginkan.” Namun, Sparta menjadi ikon karena keterkaitannya langsung dengan ideologi militer mereka.
See also  Berapa Kekayaan Pelawak Sule?

Kapan Berakhir?

Praktik ini perlahan hilang seiring merosotnya kekuatan Sparta pada abad ke-3 SM dan bangkitnya kekuatan baru seperti Makedonia dan kemudian Romawi. Ketika Kekaisaran Romawi mengambil alih wilayah Yunani pada abad ke-2 SM, sistem sosial Sparta melemah.

Namun, secara luas, infanticide masih berlanjut di berbagai belahan dunia hingga masuknya agama-agama besar seperti Kekristenan dan Islam yang menegaskan larangan membunuh anak. Dalam konteks Yunani, pengaruh filsafat humanis serta nilai moral baru yang berkembang di bawah Romawi juga ikut memudarkan praktik ekstrem ini.

Hasil: Masyarakat “Sehat” Semua?

Tujuan Sparta jelas: menciptakan masyarakat tanpa kelemahan. Dengan menyingkirkan bayi cacat atau lemah sejak lahir, mereka berharap hanya individu kuat yang tumbuh dewasa dan menjadi prajurit tangguh.

Namun, jika dilihat secara objektif, hasilnya tidak sepenuhnya seperti yang dibayangkan:

  • Memang Sparta dikenal menghasilkan prajurit disiplin dan kuat.
  • Tapi masyarakat mereka juga menjadi kaku, tertutup, dan kehilangan keberagaman manusiawi.
  • Kekakuan ini justru membuat Sparta sulit beradaptasi ketika menghadapi perubahan zaman.

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat tidak bisa hanya dibangun atas dasar “fisik sempurna.” Kreativitas, diplomasi, dan nilai kemanusiaan yang berkembang di polis lain justru lebih berkontribusi pada peradaban manusia.

Kacamata PBB dan Etika HAM Dunia

Dari sudut pandang modern, praktik Sparta jelas bertentangan dengan nilai hak asasi manusia. Deklarasi Universal HAM (1948) menegaskan hak setiap individu untuk hidup tanpa diskriminasi, termasuk penyandang disabilitas.

PBB juga memiliki Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD, 2006) yang menekankan hak penuh para penyandang disabilitas untuk hidup setara dengan yang lain. Dalam konteks ini, praktik Sparta dipandang sebagai bentuk diskriminasi paling ekstrem, yakni eliminasi sejak lahir.

See also  Pentingnya Tes DNA dalam Verifikasi Nasab Kuno (Nabi Muhammad) yang Tercerai Berai akibat Politik

Dari sisi etika, praktik tersebut dianggap sebagai bentuk ableism — diskriminasi terhadap individu dengan keterbatasan fisik atau mental. Pandangan dunia modern menolak gagasan bahwa hanya individu “sempurna” yang layak hidup.

Penutup

Praktik membuang bayi cacat di Sparta sering dipandang sebagai “jalan menuju masyarakat sehat.” Namun, dari perspektif modern, hal itu justru menjadi cermin sisi gelap peradaban kuno. Masyarakat yang sehat bukan hanya diukur dari kekuatan fisik, melainkan juga dari kemampuannya merangkul perbedaan, melindungi yang lemah, dan menghargai martabat setiap manusia.

Sejarah Sparta memberi pelajaran penting: kekuatan militer bisa menjadikan suatu bangsa ditakuti, tetapi nilai kemanusiaanlah yang membuat peradaban dihormati dan bertahan lama.

Dan seandainya Tetua Bangsa Sparta masih hidup untuk menanggapi kritik kita, mungkin ia akan berkata dengan lugas:

“Kami hidup dengan cara pandang yang sederhana: kuat berarti bertahan, lemah berarti gugur. Bagi kami itu jelas. Kalian orang modern suka berbelit-belit dengan kata-kata tentang hak, nilai, dan martabat. Namun bagi kami, hidup adalah perang, dan perang tidak mengenal belas kasihan.”

Visited 6 times, 1 visit(s) today