Ubasute: Legenda Jepang tentang Orang Tua Uzur atau Sakit yang Ditinggalkan (Dibuang) di Gunung atau di Hutan

Latar Belakang

Setiap budaya memiliki caranya sendiri menghadapi usia tua uzur, sakit, dan kematian. Di Jepang kuno, berkembang sebuah legenda yang dikenal sebagai ubasute (姑捨て, secara harfiah berarti “membuang nenek”). Cerita ini menggambarkan seorang anak yang membawa orang tua lanjut usia—biasanya ibu—ke gunung atau hutan terpencil, lalu meninggalkannya di sana hingga meninggal dunia.

Ubasute bukan hanya sebuah cerita rakyat, tetapi mencerminkan realitas sosial tertentu pada masa lalu: tekanan ekonomi, keterbatasan pangan, serta pandangan tentang beban keluarga dalam situasi sulit.


Kapan Terjadi?

Sulit menentukan secara pasti kapan praktik ubasute benar-benar terjadi, karena sumber sejarahnya lebih berupa legenda, cerita rakyat, dan catatan lisan. Namun, para peneliti mengaitkannya dengan periode Edo (1603–1868), saat masyarakat Jepang menghadapi kesulitan pangan berulang akibat gagal panen, bencana alam, dan isolasi politik.

Dalam kondisi tersebut, orang tua yang sudah renta dan tidak produktif dianggap sebagai beban bagi keluarga yang harus berjuang untuk bertahan hidup.


Prakteknya di Negara Mana Saja?

Ubasute terutama dikenal di Jepang, dengan kisah yang berakar di beberapa wilayah pegunungan, khususnya di daerah Nagano dan Tohoku.

Fenomena serupa, meskipun dengan istilah berbeda, juga tercatat di berbagai masyarakat tradisional lain:

  • Eskimo (Inuit): ada catatan tentang lansia yang memilih ditinggalkan di atas es untuk mati secara terhormat.
  • India kuno: beberapa tradisi ekstrem menyebut praktik serupa, meski jarang dibicarakan.
  • Skandinavia kuno: legenda ättestupa (orang tua melompat dari tebing) juga memiliki pola serupa.

Namun, istilah ubasute tetap khas Jepang dan menjadi bagian penting dari folklore mereka.


Kapan Berakhir?

Sebagai praktik nyata, ubasute diperkirakan hilang seiring modernisasi Jepang pada abad ke-19. Masuknya nilai-nilai baru, penguatan peran keluarga inti, serta kebijakan pemerintah Meiji (1868–1912) yang menekankan pendidikan dan industrialisasi membuat praktik semacam itu ditinggalkan.

See also  Seks Bebas "Swinger" Tukar Menukar Istri

Namun, sebagai legenda dan simbol budaya, ubasute tetap hidup. Kisah ini muncul dalam sastra, film, dan diskusi etika modern. Salah satu karya paling terkenal adalah film “The Ballad of Narayama” (1958 dan 1983), yang menggambarkan ubasute dengan dramatis.


Makna Sosial dan Budaya

Ubasute sering dipahami dalam dua perspektif:

  1. Kekejaman sosial → menyingkirkan yang lemah demi bertahan hidup.
  2. Pengorbanan mulia → lansia dianggap rela menyerahkan hidupnya demi keluarga, sebagai bentuk cinta terakhir.

Kedua interpretasi ini hidup berdampingan dalam tradisi Jepang. Ada nuansa ambivalen: di satu sisi ubasute dianggap tragedi, di sisi lain dipandang sebagai bentuk pengabdian.


Dunia Modern: Pandangan Etika dan HAM

Dari kacamata dunia modern, ubasute jelas bertentangan dengan nilai hak asasi manusia. Deklarasi Universal HAM menjamin hak setiap orang untuk hidup dan mendapatkan perlindungan, tanpa memandang usia atau kondisi fisik.

PBB juga menekankan perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk lansia, melalui berbagai resolusi dan rekomendasi. Ubasute, bila dilakukan saat ini, akan dianggap sebagai bentuk penelantaran berat bahkan pembunuhan.

Namun, legenda ubasute tetap relevan sebagai refleksi:

  • Ia menggambarkan ketegangan antara beban keluarga dan nilai kasih sayang.
  • Ia memperlihatkan bagaimana kondisi ekstrem (kemiskinan, kelaparan) bisa memaksa masyarakat mengambil keputusan sulit.
  • Ia menantang dunia modern untuk berpikir: bagaimana merawat lansia di tengah biaya kesehatan yang meningkat?

Refleksi Etika

  • Utilitarianisme mungkin bisa memahami ubasute sebagai pilihan rasional dalam kondisi kelaparan: menyelamatkan yang muda agar bertahan.
  • Deontologi dan HAM modern jelas menolaknya: hak hidup tidak boleh dikorbankan demi alasan praktis.
  • Etika kepedulian (care ethics) melihat ubasute sebagai kegagalan: merawat yang lemah justru inti dari kemanusiaan.
See also  target dan penjualan mobil listrik BYD 2025 di indonesia

Penutup

Ubasute adalah cermin kelam sekaligus menyentuh dari perjalanan manusia menghadapi keterbatasan. Ia mengingatkan bahwa dalam situasi krisis, yang lemah sering menjadi korban pertama. Namun, ia juga membuka ruang refleksi: apakah kita di era modern benar-benar sudah terbebas dari pola pikir serupa?

Di banyak negara, lansia masih mengalami diskriminasi, kesepian, bahkan dorongan untuk memilih euthanasia karena merasa menjadi beban. Bedanya, kini praktik itu dibungkus dengan istilah medis dan legalitas, bukan lagi legenda rakyat.

Sejarah ubasute mengajarkan satu hal: martabat manusia tidak boleh dikorbankan, sekalipun di tengah keterbatasan.

Visited 5 times, 1 visit(s) today