Mengapa Pembangunan Era 1966–1998 Lebih Sukses dan Harga Pangan Lebih Terjangkau?

Bagi banyak orang Indonesia, masa Orde Baru (1966–1998) sering dikenang sebagai periode pembangunan yang paling teratur. Memang, ada banyak catatan gelap seperti otoritarianisme, korupsi, dan krisis 1998 yang meruntuhkannya. Namun dari sisi pembangunan ekonomi, khususnya penyediaan pangan, era ini dinilai lebih konsisten dibanding masa pasca reformasi. Harga beras relatif terjangkau, pembangunan infrastruktur berjalan, dan arah pembangunan jelas.

Mengapa demikian? Mari kita bedah beberapa faktor kunci.

1. Perencanaan Pembangunan yang Konsisten (REPELITA)

Sejak 1969, pemerintah Orde Baru menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Setiap REPELITA punya target jelas, dari swasembada pangan, pembangunan irigasi, listrik desa, hingga industrialisasi.

Karena berada di bawah satu presiden yang sama selama 32 tahun, REPELITA bisa dijalankan secara konsisten tanpa ganti haluan politik. Hasilnya, pembangunan berjalan berkesinambungan. Misalnya:

  • REPELITA I (1969–1974) fokus pada pertanian dan stabilisasi ekonomi.
  • REPELITA II–III memperkuat infrastruktur dasar dan industri ringan.
  • REPELITA IV–V mulai masuk industrialisasi dan energi.

Dengan pola ini, masyarakat merasakan arah pembangunan yang lebih pasti, berbeda dengan era reformasi pasca 1999 ketika setiap presiden cenderung membawa program unggulan sendiri.

2. Fokus pada Pertanian dan Swasembada Beras

Pilar terpenting Orde Baru adalah ketahanan pangan, terutama beras. Pemerintah meluncurkan program Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal) untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Hasilnya:

  • Tahun 1984, Indonesia mencapai swasembada beras dan bahkan mendapat penghargaan dari FAO.
  • Infrastruktur pertanian dibangun besar-besaran: jaringan irigasi, waduk, pupuk bersubsidi, serta kredit murah bagi petani.
  • Harga gabah ditetapkan pemerintah melalui Bulog, sehingga petani mendapat kepastian harga jual.

Dengan ketersediaan beras dalam negeri yang mencukupi, harga pangan relatif stabil dan terjangkau bagi masyarakat.

See also  Pemerkosaan Budak Kulit Hitam oleh Tuan Tanah Perkebunan pada Masa Awal Negara Amerika Serikat Abad 17-18 Masehi.

3. Peran Bulog dalam Stabilisasi Harga

Salah satu kunci keberhasilan menjaga harga pangan pada masa itu adalah peran Bulog (Badan Urusan Logistik). Bulog berfungsi sebagai penyangga: membeli gabah dari petani dengan harga dasar, lalu menyalurkan beras dengan harga terjangkau untuk masyarakat.

Ketika stok melimpah, Bulog menyerap produksi agar harga tidak jatuh. Ketika ada kekurangan, Bulog melepas stok sehingga harga tidak melonjak. Sistem ini membuat harga beras relatif stabil, tidak seperti pasca 2000-an ketika peran Bulog semakin terbatas dan harga beras sering melonjak saat musim paceklik.

4. Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Stabilitas Harga

Antara 1970 hingga awal 1990-an, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6–7% per tahun. Pertumbuhan ini didukung oleh booming minyak 1970-an dan industrialisasi ringan 1980-an.

Dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerintah punya ruang fiskal untuk subsidi pangan dan pupuk, serta pembangunan infrastruktur.

Selain itu, inflasi relatif terkendali. Pada dekade 1980-an, inflasi tahunan berkisar 5–10%, jauh lebih rendah dibanding masa 1960-an ketika inflasi sempat melampaui 600%. Stabilitas harga ini membuat daya beli masyarakat relatif terjaga.

5. Sentralisasi Kekuasaan: Antara Efisiensi dan Represi

Kekuatan besar Orde Baru adalah sentralisasi: semua kebijakan ditentukan di pusat dan dijalankan secara top-down. Hasilnya:

  • Keputusan bisa dijalankan cepat tanpa perdebatan politik panjang.
  • Program pembangunan bisa dipaksakan secara merata ke seluruh daerah.

Namun ini juga kelemahan: tidak ada mekanisme check and balance. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela di lingkaran elite. Proyek-proyek besar sering jadi lahan rente keluarga Cendana dan kroninya.

Tetapi, dari sisi harga pangan dan pembangunan ekonomi, sistem sentralisasi ini lebih efektif menjaga konsistensi program dibanding era reformasi, di mana politik multipartai sering membuat kebijakan tersendat atau berubah-ubah.

See also  Apakah Kisah Mukjizat Alkitab dan Alquran Dipengaruhi Mitologi "Superhuman" Yunani Kuno?

6. Mengapa Pasca 1999 Lebih Sulit Menjaga Harga Pangan?

Setelah reformasi, ada perubahan fundamental:

  • Desentralisasi membuat kebijakan pertanian berbeda-beda di tiap daerah.
  • Peran Bulog dipangkas, sehingga pemerintah tidak lagi bisa mengendalikan harga beras seefektif dulu.
  • Subsidi pupuk tetap ada, tapi distribusi sering tidak tepat sasaran.
  • Setiap presiden membawa proyek unggulannya sendiri, dari Hambalang di era SBY hingga IKN di era Jokowi. Akibatnya, pembangunan pangan tidak jadi prioritas utama.

Hasilnya: harga beras dan pangan lain cenderung fluktuatif, bahkan sering naik tajam menjelang pemilu atau musim paceklik.

7. Kesimpulan

Pembangunan Indonesia pada 1966–1998 bisa dianggap lebih sukses, terutama dalam menjaga ketersediaan pangan dan keterjangkauan harga, karena:

  1. Ada perencanaan konsisten lewat REPELITA.
  2. Fokus besar pada pertanian dan swasembada beras.
  3. Bulog berperan penuh sebagai penyangga harga.
  4. Ekonomi tumbuh tinggi, memberi ruang subsidi dan stabilisasi.
  5. Sentralisasi kekuasaan, meski otoriter, membuat program berjalan tanpa hambatan politik.

Pasca 1999, demokratisasi memberi ruang lebih bebas, tapi juga menghadirkan tantangan: kebijakan tidak berkesinambungan, peran stabilisasi harga melemah, dan prioritas bergeser ke proyek mercusuar.

Jika ingin mengambil pelajaran dari masa lalu, maka konsistensi kebijakan dan fokus pada pangan rakyat perlu kembali menjadi prioritas, tentu tanpa mengulang praktik otoritarianisme dan KKN yang pernah merusak Orde Baru.

Visited 3 times, 3 visit(s) today