Mengapa Soekarno Lebih Keras daripada Belanda? Eksekusi Mati Para Pemberontak 1945–1960

Sejarah Indonesia penuh ironi. Soekarno, yang sejak 1920-an berkali-kali ditangkap Belanda dan Jepang, tidak pernah dijatuhi hukuman mati. Ia “hanya” dipenjara atau diasingkan: Sukamiskin, Ende, Bengkulu. Namun ketika Republik berdiri, beberapa tokoh pemberontak yang menentang pemerintah justru berakhir di tiang eksekusi. Pertanyaannya: mengapa Soekarno lebih keras kepada pemberontak bangsanya sendiri dibanding Belanda kepada dirinya?

Soekarno di Bawah Kolonialisme: Hukuman Lunak

Antara 1928–1942, Soekarno ditangkap beberapa kali oleh pemerintah kolonial Belanda.

  • 1929: ditahan di penjara Sukamiskin karena aktivitas PNI.
  • 1933–1938: dibuang ke Ende (Flores).
  • 1938–1942: dibuang ke Bengkulu.

Belanda tidak menembak mati Soekarno. Alasannya pragmatis: eksekusi bisa memicu perlawanan rakyat dan menjadikan Soekarno martir. Bahkan Jepang, yang menduduki Indonesia sejak 1942, memilih memanfaatkan Soekarno sebagai juru propaganda daripada membunuhnya. Dengan demikian, hidupnya terselamatkan.

Pemberontakan Pasca Kemerdekaan: Ancaman terhadap Republik

Setelah proklamasi 1945, situasinya berbeda total. Republik muda menghadapi ancaman dari luar (Belanda ingin kembali) dan dari dalam (pemberontakan bersenjata). Soekarno sebagai presiden harus menunjukkan wibawa. Bagi pemerintah, pemberontakan bersenjata adalah ancaman eksistensial yang harus dihentikan, bahkan dengan eksekusi mati.

Beberapa contoh penting:

  1. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (DI/TII, Jawa Barat)
    • Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (1949).
    • Pemberontakan Darul Islam berlangsung berdarah selama satu dekade.
    • Setelah tertangkap pada 1962, ia diadili dan dihukum mati. Eksekusi dilakukan di Pulau Seribu (1962), tanpa makam jelas, agar tidak menjadi tempat ziarah.
  2. Amir Fatah (DI/TII Jawa Tengah)
    • Tokoh Darul Islam di Jawa Tengah yang bergabung dengan Kartosuwiryo.
    • Setelah ditangkap, ia dijatuhi hukuman mati (1950-an).
  3. Kahar Muzakkar (DI/TII Sulawesi Selatan)
    • Memimpin pemberontakan bersenjata sejak 1950-an.
    • Ia akhirnya tewas ditembak TNI dalam operasi militer 1965.
  4. Ibnu Hadjar (DI/TII Kalimantan Selatan)
    • Membentuk pasukan Mujahidin di hutan Kalimantan.
    • Ditangkap dan dieksekusi pada 1962.
See also  Berapa Kekayaan Nagita Slavina

Selain itu, pemberontakan lain seperti RMS (Republik Maluku Selatan, 1950) juga ditumpas dengan keras; tokoh-tokohnya ditangkap, sebagian ditembak di medan pertempuran, sebagian dihukum berat.

Mengapa Soekarno Lebih Keras?

Ada beberapa alasan mengapa Soekarno lebih “kejam” daripada Belanda dalam kasus ini:

  1. Perbedaan Status
    • Belanda memandang Soekarno hanya tokoh politik kolonial. Mengeksekusinya berisiko menyalakan api nasionalisme lebih besar.
    • Bagi Republik, pemberontakan seperti DI/TII adalah ancaman langsung yang bisa menghancurkan negara yang baru lahir.
  2. Efek Martir
    • Belanda menghindari menjadikan Soekarno martir.
    • Sebaliknya, Republik justru tidak ingin tokoh pemberontak menjadi simbol perlawanan. Karena itu eksekusi dilakukan tertutup (contoh: Kartosuwiryo di Pulau Seribu, tanpa makam).
  3. Wibawa Negara Baru
    • Republik harus menunjukkan tegas bahwa kekuasaan negara lebih tinggi dari kekuasaan lokal, ideologi, atau agama tertentu.
    • Eksekusi adalah pesan politik: tidak ada kompromi bagi pemberontak bersenjata.
  4. Perang Dingin dan Stabilitas
    • 1950-an adalah masa penuh gejolak: DI/TII, PRRI/Permesta, RMS.
    • Pemerintah pusat harus menunjukkan ketegasan agar tidak dianggap lemah oleh kekuatan asing (Amerika, Uni Soviet, Belanda yang masih punya pengaruh).

Ironi Sejarah

Kisah ini penuh ironi. Soekarno selamat dari tiang gantungan kolonial karena Belanda dan Jepang lebih memilih menahannya. Tetapi ketika ia berkuasa, beberapa lawannya tidak mendapat keringanan serupa: mereka dieksekusi atau ditembak mati.

Soekarno mungkin tidak berniat pribadi “lebih kejam,” melainkan melihat eksekusi sebagai keharusan politik untuk menjaga republik muda. Namun dalam catatan sejarah, perbedaan nasib ini mencolok: sang presiden berulang kali dipenjara tapi selamat, sementara para pemberontak yang menantangnya berakhir di peluru atau tiang eksekusi.

  • Belanda (1920–1942)
    • Menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir → dihukum penjara/pengasingan, tidak dieksekusi.
    • Alasan: takut menjadikan mereka martir nasionalis.
    • Strategi: kontrol tanpa memicu pemberontakan besar.
  • Soekarno (1945–1965)
    • Menangkap tokoh pemberontakan bersenjata (DI/TII, RMS, PRRI/Permesta).
    • Beberapa tokoh dijatuhi hukuman mati (Kartosuwiryo, Amir Fatah, Ibnu Hadjar) atau ditembak di medan operasi (Kahar Muzakkar).
    • Alasan: menjaga wibawa negara muda dan mencegah pemberontakan melebar.
    • Strategi: eksekusi cepat, sering dilakukan diam-diam (contoh: Kartosuwiryo di Pulau Seribu, tanpa makam).
See also  Utang Kereta Cepat Whoosh: Bayar 60 Tahun, Besi Tua 30 Tahun

Penutup

Apakah Soekarno lebih keras daripada Belanda? Dalam soal menghukum lawan politik, jawabannya: ya. Belanda berhitung bahwa membiarkan Soekarno hidup lebih menguntungkan. Republik muda, sebaliknya, menghukum mati tokoh pemberontak untuk mencegah runtuhnya negara yang baru lahir. Inilah paradoks sejarah: sang proklamator yang diselamatkan oleh musuh kolonial, justru menjadi presiden yang memerintahkan hukuman mati atas bangsanya sendiri demi tegaknya Republik.

Visited 5 times, 5 visit(s) today