
Tokoh Sultan Hamid II (1913–1978) memang agak rumit, karena posisinya di masa 1945–1949 berada di antara kepentingan Belanda dan Indonesia. Saya ringkas biografinya berdasarkan catatan sejarah:
Latar Belakang
- Sultan Hamid II adalah Sultan Pontianak (Kerajaan Kadriah) sekaligus perwira KNIL (tentara Hindia Belanda).
- Ia pernah sekolah militer di Belanda, berpangkat kapten KNIL, sehingga punya hubungan erat dengan Belanda.
- Setelah Proklamasi 1945, ia tidak langsung bergabung dengan Republik, melainkan ikut dalam skema federal Belanda.
Peran 1945–1949
- Pro-Belanda (awal):
- Ia menjabat sebagai pejabat tinggi dalam Negara Kalimantan Barat (bentukan Belanda dalam konsep Negara Indonesia Serikat).
- Ia juga mendukung gagasan federalisme Belanda (membentuk RIS, bukan Republik Indonesia tunggal).
- Jadi pada masa awal, ia bisa dianggap lebih dekat ke Belanda dibanding ke Republik Yogyakarta.
- Peran Nasional (akhir):
- Pada saat Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Sultan Hamid II ditunjuk sebagai Menteri Negara tanpa portofolio dalam Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat).
- Ia kemudian menjadi tokoh penting dalam perancangan lambang negara Indonesia. Usulan lambang Garuda Pancasila (meski direvisi Soekarno agar lebih sesuai budaya Nusantara) berasal dari desain Sultan Hamid.
Kontroversi
- Walaupun berjasa dalam lambang negara, Sultan Hamid II sempat ditangkap (1950) karena diduga terlibat dalam Peristiwa Westerling/Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang pro-Belanda dan anti-Republik.
- Karena itu, ia tidak pernah benar-benar diakui penuh sebagai “pahlawan nasional,” meskipun jasanya dalam desain Garuda Pancasila besar.
Sultan Hamid II tidak ditembak mati. Ia memang ditangkap karena dianggap terlibat dalam Peristiwa Westerling/Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) tahun 1950, tetapi hukumannya berupa penjara, bukan eksekusi.
Berikut ringkasannya:
- 1950 → Setelah APRA (pemberontakan Westerling di Bandung) gagal, Sultan Hamid II ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Ia dituduh punya hubungan dengan Westerling, meski perannya lebih pada politik federalis daripada aksi bersenjata.
- Pengadilan 1953 → Ia divonis bersalah dan dihukum 10 tahun penjara karena makar.
- Dibebaskan setelah menjalani hukuman (sekitar 1960-an).
- Wafat pada tahun 1978 di Jakarta, sebagai orang sipil, bukan dalam eksekusi.
Kesimpulan
- 1945–1949: Sultan Hamid II lebih condong pro-Belanda, karena terlibat dalam Negara Kalimantan Barat dan RIS yang merupakan desain federal Belanda.
- Pasca 1949: ia masuk ke struktur Indonesia, menyumbang desain lambang negara, tapi tetap ada stigma karena keterlibatan dengan Belanda dan APRA.
Visited 9 times, 9 visit(s) today