
SEJARAHID Program Makan Bergizi Gratis (MBG) (MBG) yang digagas oleh Badan Gizi Nasional (BGN) demi mencukupi kebutuhan gizi anak sekolah, ibu hamil dan menyusui ternyata menghadapi krisis serius: keracunan massal di banyak daerah. Artikel ini mengulas dari kapan program dimulai, apa saja daerah terdampak, jumlah korban, dan terutama empat bahan makanan utama (ayam, ikan, telur, sayur) yang sering menjadi sumber keracunan dalam skema makanan massal MBG — beserta akar permasalahannya.
- Momen Kocak & Absurd Program MBG dan Film Komedi WARKOP
- Keracunan MBG Terjadi di 25 Provinsi 88 Daerah Menyebar di Indonesia & Inilah 4 Sumber Keracunan (Bagian 1/2)
- Keracunan MBG Terjadi di 25 Provinsi 88 Daerah Menyebar di Indonesia & Inilah 4 Sumber Keracunan (Bagian 2/2)
- Timeline Kasus Keracunan Massal terkait Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Januari – Oktober 2025
- Waduh! Harga Ayam dan Telur Naik Akibat Permintaan Program Makan Bergizi Gratis MBG
- Tidak Maksimal Pencegahan Korupsi Program MBG Makan Bergizi Gratis di Dapur Lokal Daerah
- Disaster Recovery Plan untuk Kasus Keracunan dan Kematian akibat Makan Bergizi Gratis MBG
Peluncuran dan Skema Program MBG
Program MBG resmi dirancang oleh BGN untuk menjangkau anak sekolah, ibu hamil dan menyusui sebagai intervensi gizi nasional. PT. Timedoor Indonesia+4bgn.go.id+4bpmpprovsumut.kemdikbud.go.id+4
Menurut catatan, program mulai direalisasikan pada awal 2025 — Januari 2025 disebut-sebut sebagai titik mulai pelaksanaan nasional. The United Nations in Indonesia+2PT. Timedoor Indonesia+2
Program ini juga menggunakan satuan layanan bernama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di daerah-daerah untuk penyaluran MBG. indonesia.go.id+1
Skema: melibatkan banyak bahan mentah – seperti ayam, ikan, telur, sayur – yang diolah secara massal untuk banyak penerima manfaat.
Latar belakangnya antara lain untuk memperbaiki kualitas gizi generasi muda, menurunkan stunting, meningkatkan partisipasi belajar. bpmpprovsumut.kemdikbud.go.id+2mediakeuangan.kemenkeu.go.id+2
Sebaran Kasus Keracunan MBG
Sayangnya, skala besar dan kompleksitas logistik MBG menyebabkan sejumlah kejadian keracunan pangan massal. Beberapa data penting:
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) mencatat hingga 5 Oktober 2025 sekitar 11.660 kasus keracunan MBG di Indonesia, dari 119 kejadian di 25 provinsi dan 88 kab/kota. detikHealth
- Data dari Jaringan Pemantau Pangan Indonesia (JPPI) menunjukkan dalam satu pekan saja tercatat 1.833 orang jadi korban keracunan MBG. tempo.co
- Akademisi bahkan menyebut “lebih dari 4.000 siswa” menjadi korban sepanjang delapan bulan terakhir di berbagai sekolah. ums.ac.id
- Salah satu contoh: di wilayah Lembang, Kabupaten Bandung Barat (Jawa Barat), tercatat 201 siswa keracunan MBG. detikcom
Daerah-daerah yang dilaporkan meliputi: Provinsi Jawa Barat (Bandung Barat, Garut, Bandung Barat, Cianjur), Jawa Timur (Bojonegoro, Banyuwangi, Malang), DIY (Sleman), Jawa Tengah (Purworejo, Temanggung, Rembang), Nusa Tenggara (Lombok Tengah) serta Sulawesi, Maluku — meski jumlah spesifik tiap pulau tidak selalu dirinci. id.wikipedia.org+2detikcom+2
Dengan demikian bisa dikatakan kasus telah “menyebar” ke pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara.
Empat Sumber Keracunan dalam MBG
Menurut SEJARAHID Ketika makanan disajikan secara massal — terutama dengan bahan ayam, ikan, telur dan sayur — risiko keracunan akan meningkat apabila tidak ditangani dengan tepat. Berikut penjabaran tiap bahan dan mengapa berisiko.
Ayam
Ayam adalah bahan yang sangat rentan dari sisi keamanan pangan:
- Potongan ayam yang dibeli pagi hari bisa mulai berbau siang hari, dan semakin cepat rusak jika suhu penyimpanan tidak memadai.
- Bakteri seperti Salmonella bisa terdapat pada unggas dan daging ayam.
- Dalam konteks MBG: jika tenaga kerja yang mengolah kurang, pencucian ayam terburu-buru atau tidak cermat, maka ayam potong “mulai bau” bisa menjadi sumber keracunan.
- Tim MBG cenderung harus mengolah ratusan atau ribuan porsi sekaligus — apabila standar pengolahan, kebersihan, penyimpanan tidak optimal, maka ayam menjadi titik lemah besar.
Ikan
Mirip dengan ayam, ikan juga sangat rentan:
- Ikan jika dibeli pagi hari dan tidak disimpan dengan suhu dingin yang memadai bisa mulai berbau atau membusuk sore hari.
- Bakteri dan racun alami pada ikan (tergantung jenis dan penyimpanan) bisa menjadi bahaya.
- Dalam skala besar MBG, bila penyusunan logistik dan penanganan ikan kurang diperhatikan, kita bisa melihat “ikan basi dalam porsi massal” sebagai sumber keracunan.
Telur
Telur mungkin terlihat stabil, tetapi punya risiko tersendiri:
- Kulit telur tipis dan bisa terkontaminasi kotoran ayam atau bakteri seperti Salmonella.
- Telur pecah saat pengiriman atau saat disimpan bisa mengundang bakteri masuk.
- Telur bisa “bertahan” satu minggu, tetapi jika dalam skema MBG bahan telur digunakan dalam jumlah besar dan pencucian/cuci tangan/penanganan tidak memadai, telur menjadi risiko besar.
- Dalam acara makanan massal, telur sering digunakan karena murah dan mudah diolah — namun jika kualitas dan kondisinya asal-asalan, keracunan bisa meluas.
Sayur
Sayur juga tidak kalah penting sebagai sumber potensi keracunan:
- Sayur berasal dari kebun/zona produksi yang bisa tercemar tanah, pupuk kandang, pupuk kimia, kotoran, jamur, bakteri tanah.
- Bila pencucian sayur dilakukan asal-asalan, maka sisa tanah, larva, ulat, jamur atau bakteri dapat tertinggal. Contoh: ditemukan ulat daun dalam sayur untuk MBG di Bangkalan.
- Jika sayur disimpan lama atau suhu tidak tepat setelah dicuci, maka pertumbuhan jamur dan bakteri bisa terjadi. Karena makanan massal cenderung disiapkan lebih awal, sayur yang sudah disiapkan usang juga berisiko.
Faktor Tenaga Kerja & Logistik
Tidak hanya bahan, tetapi juga “jumlah tenaga kerja yang optimal dan pengalamannya” sangat penting:
- Dalam catering profesional misalnya acara pernikahan, tim sudah terbiasa, kualitas bahan dan penanganan lebih ketat, sehingga risiko keracunan rendah.
- Dalam MBG, seringkali tim baru dibentuk, atau penanganan dilakukan secara “acara dadakan” (mirip acara syukuran) dengan bahan murah dan pekerja terbatas.
- Jika bahan buruk (ayam mulai bau, telur pecah, ikan tersimpan lama, sayur tercemar) ditambah SDM kurang terlatih, maka keracunan pangan massal menjadi “menunggu waktu”.
- Pemerintah bahkan disebut-sebut “belajar ke India” dalam pengelolaan MBG, padahal di dalam negeri banyak usaha katering profesional yang bisa dijadikan rujukan seperti SOLARIA, HOKA HOKA BENTO, KFC dsb — menimbulkan tanya “kenapa tidak melibatkan katering nasional yang sudah terbiasa?”
Kenapa Program yang Ideal Malah Bermasalah
Beberapa catatan atas masalah MBG yang memunculkan keracunan:
- Skala program sangat besar, banyak SPPG yang tersebar dan banyak mitra UMKM, banyak sekolah. Pengawasan dan standar operasional menjadi tantangan besar.
- Banyak SPPG yang belum memiliki sertifikat higienis sanitasi (SLHS) ketika kasus keracunan terjadi. detikHealth+1
- Karena program digencarkan secara cepat, satuan layanan tentu berbeda levelnya dalam kesiapan dapur massal, manajemen logistik, pengiriman, dan penyimpanan makanan.
- Penggunaan bahan mentah yang murah atau “ambil jalan cepat” bisa terjadi sebagai dampak beban anggaran atau tekanan target.
- Minimnya tenaga yang terbiasa dalam penyediaan makanan massal dengan standar mutu tinggi: “jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.”
- Pemerintah disebut terlalu fokus sasaran besar (jumlah penerima, luasan) dan kurang fokus pada pengelolaan teknis operasional — seperti penanganan ayam, ikan, telur, sayur di lingkungan masa.
- Kurangnya edukasi kepada penerima (siswa) dan kepada petugas: misalnya cuci tangan sebelum makan, memeriksa kelayakan makanan, penggunaan sendok bersama. Bahkan dalam satu kasus seorang pejabat mengabaikan sumber masalah di atas malah menyatakan “siswa tidak cuci tangan” dan “ulat sayur jenis yang bisa dikonsumsi” yang menimbulkan kehebohan karena dianggap mengabaikan standar kesehatan pangan.
Gerakan Siswa dan Orang Tua Menolak Makanan MBG Takut Keracunan
Kini muncul gerakan penolakan terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disuarakan oleh siswa dan orang tua, karena kekhawatiran bahwa mereka “menunggu giliran” untuk mengalami keracunan. Laporan di sejumlah sekolah menunjukkan bahwa setelah serangkaian insiden keracunan massal, kepercayaan terhadap program makan bersama gratis ini runtuh. Banyak orang tua kini menolak makanan dari paket MBG dan memilih membekali anaknya sendiri, sementara para siswa pun mulai enggan menyentuh hidangan yang sebelumnya dipromosikan sebagai simbol keberhasilan kebijakan sosial pemerintah. Mereka merasa, melihat banyaknya kasus serupa di berbagai daerah, keracunan hanyalah soal waktu — bukan lagi kemungkinan, melainkan ancaman yang menunggu giliran. Situasi ini bukan sekadar menunjukkan kegagalan teknis dalam penyelenggaraan (mulai dari bahan mentah, dapur, hingga distribusi), tetapi juga mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap manajemen program. Makanan yang seharusnya menjadi sumber gizi dan harapan justru berubah menjadi sumber ketakutan. Akibatnya, apa yang semula dirancang sebagai program sosial inklusif dan membanggakan kini menghadapi tantangan besar akibat penolakan di tingkat akar rumput. Tanpa langkah cepat untuk memperbaiki sistem keamanan pangan, memperkuat pengawasan, dan memulihkan kepercayaan masyarakat, keberlanjutan MBG terancam gagal di tengah ketakutan kolektif para orang tua dan siswa.
Usulan Keren dan Simple Portal “SEJARAHID.com”
Portal SejarahID.com dalam artikel yang sangat keren dan bombastis mister fantastis:
menyoroti bahwa solusi konkret atas maraknya kasus keracunan MBG bukan dengan belajar jauh ke luar negeri seperti India, tetapi dengan menggandeng jaringan katering profesional dalam negeri yang sudah berpengalaman mengelola makanan massal secara higienis dan efisien. Menurut SejarahID, Indonesia memiliki ribuan tim katering lokal, restoran cepat saji, hingga jaringan ritel besar seperti Indomaret, Alfamart, KFC, MCD, Lawson, Hoka-Hola Bento atau Solaria, yang terbukti memiliki sistem dapur berstandar tinggi, rantai pasok terjamin, serta kontrol kualitas yang ketat dalam setiap tahap pengolahan makanan sehingga jarang ada konsumen yang keracunan.
Mereka sudah terbiasa menangani ribuan porsi per hari tanpa insiden keracunan, karena memiliki SOP yang jelas, staf terlatih, dan sistem audit internal. Kolaborasi pemerintah dengan jaringan tersebut akan jauh lebih efektif, cepat, dan aman dibandingkan mengirim pejabat untuk “belajar teknis dapur” ke India, yang secara konteks geografis, bahan pangan, serta kebiasaan kuliner sangat berbeda dengan Indonesia. SejarahID menilai langkah bekerja sama dengan pelaku usaha katering lokal bukan hanya solusi praktis untuk mencegah keracunan massal, tetapi juga strategi pemberdayaan ekonomi daerah — sebab dapur lokal, UMKM makanan, dan tim katering profesional di setiap provinsi akan mendapat peran langsung dalam mendukung program nasional MBG. Pendekatan ini mencerminkan prinsip “pemberdayaan berbasis potensi domestik”, yaitu memanfaatkan keahlian dan sumber daya manusia Indonesia sendiri sebagai kunci keberhasilan program makan bergizi yang aman dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Program MBG adalah niat baik dan strategis untuk masa depan generasi Indonesia. Namun kenyataannya, ketika pelaksanaan operasionalnya melibatkan bahan-bahan yang sangat rentan (ayam, ikan, telur, sayur) dan disajikan secara massal dengan pengawasan yang belum optimal — maka keracunan massal menjadi nyata.
Empat sumber utama keracunan tersebut (ayam, ikan, telur dan sayur) harus menjadi fokus utama evaluasi, bersama dengan SDM penyiapan makanan, penyimpanan, pengangkutan, dan standar higienis.
Jika pemerintah, BGN/SPPG, sekolah, mitra katering/UMKM bersinergi dengan mengacu pada standar profesi katering profesional, maka program ini bisa kembali pada tujuan mulia: makan bergizi dan aman.
Sebaliknya, jika hanya dikejar jumlah penerima tanpa memperhatikan detail teknis pengolahan dan keamanan pangan — maka potensi keracunan akan terus muncul.