
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan niat mulia: mengatasi stunting dan meningkatkan kualitas gizi pelajar di seluruh Indonesia. Namun, seperti banyak kebijakan populis lain, pelaksanaannya memunculkan paradoks baru. Di balik jargon “anak sehat, bangsa kuat”, muncul fenomena yang tak kalah penting: matinya kantin sekolah dan lesunya UMKM lokal.
- Maraknya Dapur SPPG Dapat Membunuh Kantin Sekolah & UMKM: Dilema Antara Gizi Anak MBG dan Keadilan Ekonomi Lokal
- Harga Per Porsi MBG di Indonesia vs Negara Lain: Antara Cita-Cita Mulia dan Realitas Dapur yang Seret
- Momen Kocak & Absurd Program MBG dan Film Komedi WARKOP
- Keracunan MBG Terjadi di 25 Provinsi 88 Daerah Menyebar di Indonesia & Inilah 4 Sumber Keracunan (Bagian 1/2)
- Keracunan MBG Terjadi di 25 Provinsi 88 Daerah Menyebar di Indonesia & Inilah 4 Sumber Keracunan (Bagian 2/2)
- Waduh! Harga Ayam dan Telur Naik Akibat Permintaan Program Makan Bergizi Gratis MBG
- Tidak Maksimal Pencegahan Korupsi Program MBG Makan Bergizi Gratis di Dapur Lokal Daerah
- Disaster Recovery Plan untuk Kasus Keracunan dan Kematian akibat Makan Bergizi Gratis MBG
Seiring munculnya ribuan Sentra Penyediaan Pangan Gizi (SPPG) — dapur-dapur besar penyedia makanan MBG — banyak pedagang kecil di lingkungan sekolah kehilangan pelanggan utamanya: para siswa. Kantin yang dulu ramai, kini sunyi. Pedagang kaki lima yang biasa menjajakan gorengan, es, atau nasi uduk di depan sekolah, kini hanya bisa menatap piring-piring plastik MBG yang didistribusikan setiap siang.
Magnet Bisnis di Balik Piring MBG
Tak bisa dipungkiri, program MBG menciptakan ekosistem bisnis baru yang sangat menggiurkan. Dengan harga per porsi Rp 15.000, pembagiannya kira-kira:
- Rp 10.000 untuk makanan,
- Rp 5.000 untuk operasional dapur SPPG.
Jika satu dapur SPPG melayani 2.000 porsi per hari, maka revenue mencapai Rp 10 juta per hari, atau sekitar Rp 220 juta per bulan (22 hari sekolah). Setelah dikurangi biaya tenaga kerja 10–20 orang (sekitar Rp 50–100 juta) dan overhead seperti listrik dan bensin (sekitar Rp 50 juta), keuntungan bersih bisa mencapai Rp 70–120 juta per bulan.
Angka fantastis ini menjelaskan mengapa ribuan pihak berlomba mendaftar jadi SPPG. Badan Gizi Nasional (BGN) bahkan terpaksa menutup pendaftaran setelah menerima 8.471 usulan dapur, dari berbagai daerah. Tak tanggung-tanggung, sejumlah showroom, lapangan futsal, hingga gudang besar kini disulap menjadi dapur MBG. Beberapa konglomerat bahkan ikut terlibat, memanfaatkan peluang besar dari “program sosial” ini.
Namun, di balik geliat bisnis dan profitabilitas tinggi SPPG, ada pihak yang tersisih tanpa suara: kantin sekolah dan pedagang kecil.
Kantin Sekolah dan UMKM yang Mati Pelan-Pelan
Sebelum MBG hadir, kantin sekolah dan pedagang kaki lima di sekitar sekolah adalah denyut ekonomi rakyat kecil. Mereka tidak hanya menjual makanan, tetapi menjadi bagian dari kultur sosial sekolah: tempat nongkrong siswa, obrolan ringan antar guru, dan simbol ekonomi lokal yang hidup.
Namun kini, dengan adanya MBG yang menyediakan makan gratis untuk semua siswa, kebiasaan jajan perlahan hilang. Siswa sudah kenyang. Kantin sepi. Pedagang kaki lima kehilangan pelanggan tetapnya.
Di banyak daerah, para penjual mengeluh omzet mereka turun drastis 50–80 persen. Berita di berbagai media menunjukkan betapa program gizi nasional ini membawa efek domino ke ekonomi mikro:
“Pedagang kantin sekolah ngeluh omzet turun imbas MBG,” tulis DetikNews (6/11/2025).
“UMKM nestapa, stunting tetap ada,” kritik IDN Times (Jawa Barat, 2025).
Jika satu sekolah kehilangan 5–10 pedagang, dan ribuan sekolah mengalami hal serupa, maka dampaknya terhadap ekonomi rakyat bukan hal sepele. Program yang dimaksudkan untuk memberi makan anak-anak, justru membuat orang tuanya kehilangan sumber makan.
Paradoks: Makanan Gratis, Tapi Ekonomi Lokal Mati
Secara moral, program MBG memang tidak salah. Anak-anak butuh gizi seimbang dan asupan bergizi. Tetapi ketika pelaksanaannya diserahkan ke jaringan dapur besar SPPG yang beroperasi seperti korporasi mini, terjadi ketimpangan baru.
SPPG dengan skala besar memiliki efisiensi, modal, dan jaringan. Mereka bisa beroperasi ribuan porsi per hari. Sebaliknya, pedagang kecil tak punya akses ke sistem itu. Program sosial ini pun berubah arah menjadi arena kompetisi ekonomi, di mana yang bertahan adalah mereka yang memiliki modal besar dan koneksi kuat.
Ironisnya, nama programnya “Makan Bergizi Gratis,” tapi bagi banyak keluarga pedagang kecil, itu justru menghapus sumber nafkah bergizi mereka sendiri.
Solusi: Jangan Jadikan UMKM Korban Program Negara
Pemerintah, khususnya BGN dan pihak sekolah, tidak bisa sekadar bersembunyi di balik narasi “demi anak sehat.” Setiap kebijakan sosial yang berdampak ekonomi luas wajib memikirkan kompensasi dan integrasi bagi pihak terdampak.
Beberapa langkah konkret bisa dilakukan:
- Rekrut Pedagang Lokal ke Dalam SPPG.
Setiap dapur MBG harus diwajibkan merekrut pedagang kantin sekolah dan UMKM sekitar sebagai tenaga kerja atau mitra tetap. Dengan begitu, mereka tetap mendapatkan penghasilan rutin dan tidak tersingkir dari rantai ekonomi baru. - Gunakan Bahan Baku dari Pemasok Lokal.
BGN harus memastikan bahan makanan untuk MBG dibeli dari petani dan produsen lokal — bukan dari pemasok besar luar daerah. Dengan cara ini, MBG benar-benar menumbuhkan ekonomi di lingkungannya sendiri. - Atur Ruang bagi Kantin Sekolah.
MBG bisa dijadwalkan hanya untuk makan siang utama, sementara kantin tetap diperbolehkan menjual menu pelengkap atau camilan sehat. Dengan demikian, keseimbangan ekonomi sekolah tetap hidup.
Penutup: Antara Niat Baik dan Dampak Buruk
Program MBG adalah langkah besar untuk masa depan anak-anak Indonesia. Tetapi kebijakan publik tidak bisa dinilai hanya dari niat, melainkan dari efek riil di lapangan. Ketika ribuan pedagang kecil kehilangan pendapatan karena dapur besar SPPG menguasai pasar sekolah, maka ada yang salah dalam desain kebijakannya.
Mencegah stunting tidak boleh dilakukan dengan men-stunting ekonomi rakyat. Kesejahteraan sejati adalah ketika anak-anak bisa makan bergizi, dan orang tuanya tetap bisa hidup layak.