Audit Utang & Potensi Korupsi di Proyek Kereta Cepat KCIC Whoosh

Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan adanya potensi masalah korupsi atau setidak-nya governance yang lemah dalam proyek kereta cepat antara PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) di Indonesia — namun hingga kini belum ada bukti tegas yang membuktikan korupsi secara hukum. Berikut uraian dua isu utama yang Anda sebutkan, serta analisisnya.


1. Apakah biaya per kilometer proyek lebih mahal dari wajar?

Memang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang dikelola KCIC mengalami pembengkakan biaya. Sebagai contoh, menurut laporan, estimasi awal proyek sekitar US$ 4,3 miliar (sekitar Rp 66,7 triliun) namun kemudian meningkat hingga sekitar US$ 7,3 miliar (sekitar Rp 113 triliun) untuk jarak ±143 km. AP News+2Wikipedia+2
Pembengkakan ini memunculkan pertanyaan: apakah pembengkakan tersebut murni karena faktor eksternal (tanah, lingkungan, pandemi, desain) atau ada mark-up / biaya yang tidak transparan?

Indikasi potensi “lebih mahal” bisa dilihat dari:

  • Skema kerja sama yang dipakai, yaitu konsorsium BUMN Indonesia + investor China, model B2B (business to business) yang menurut pengamat kurang efisien dibanding model antar-pemerintah. Poros Jakarta – Jakarta Punya Berita+1
  • Beban keuangan bagi negara dan BUMN yang cukup besar karena jangka waktu konsesi panjang serta skema utang/pembiayaan yang kompleks. tirto.id+1
  • Himpitan terhadap target penumpang dan pendapatan yang lebih rendah dari rencana awal. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa perkiraan permintaan menurun jauh dari studi awal. Wikipedia+1

Meski demikian, lebih mahal bukan otomatis berarti korupsi — bisa saja disebabkan oleh faktor‐legitim seperti kondisi lapangan, perubahan desain, pembebasan lahan yang sulit, pandemi Covid-19, inflasi global, atau perubahan teknis. Namun transparansi publik terkait perubahan biaya, kontrak, sub-kontraktor, dan persentase BUMN vs asing tampaknya belum optimal — dan di sinilah potensi korupsi atau setidak-nya kurangnya akuntabilitas muncul.


2. Apakah benar bahwa sebelum memilih China, Jepang menawarkan kereta cepat dengan bunga utang rendah, tetapi pemerintahan Joko Widodo memilih bunga tinggi dari China?

Ya — ada laporan yang menunjukkan Jepang pernah menawarkan skema pinjaman antar-pemerintah (G2G) dengan bunga sangat rendah untuk rute kereta cepat ini, sedangkan ketika proyek jadi dilaksanakan dengan China bunga pinjamannya lebih tinggi. Contohnya:

  • Sebuah artikel menyebut bahwa Jepang pernah menawarkan bunga 0,5% atau bahkan 0,1% untuk pinjaman antar­pemerintah. suara.com+1
  • Dalam skema dengan China, disebutkan bunga proyek sekitar 3,4% atas utang proyek kereta cepat. suara.com+1
  • Pengamat menyebut peralihan dari Jepang ke China bisa terkait keputusan politik: “Presiden yang meminta … agar melanjutkan ke China …” menurut Agus Pambagio. Gemapos – Arah baru perubahan+1

Jika benar, maka keputusan memilih Chinese funding dengan bunga lebih tinggi serta skema B2B (yang bisa lebih membebani keuangan negara) dibandingkan opsi Jepang dengan bunga rendah memunculkan korelasi yang bisa dipertanyakan — terutama dari sudut efisiensi anggaran publik dan tata kelola yang baik.


3. Apakah ini berarti korupsi sudah terbukti?

Belum. Hingga kini, memang ada pengumuman dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengimbau masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi dalam proyek kereta cepat ini. Antara News

See also  Sejarah Pornografi dan Video Porno di Zaman Arab Kuno

Contohnya, mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa KPK “aneh” meminta dirinya melapor sementara dugaan markup proyek kereta cepat (“Whoosh”) sudah diwartakan. merdeka.com
Namun hingga kini belum ada publikasi resmi bahwa proses penyidikan telah menuntaskan adanya tindak pidana korupsi secara spesifik dalam proyek ini.


4. Analisis: Potensi konflik tata kelola & rekomendasi

Berdasarkan dua isu di atas, berikut analisis ringkas:

Potensi konflik dan kelemahan tata kelola:

  • Pemilihan skema pembiayaan yang (kemungkinan) kurang menguntungkan negara — skema B2B vs G2G — menunjukkan risiko bahwa aspek efisiensi dan akuntabilitas mungkin kurang diperhitungkan dengan matang.
  • Pembengkakan biaya dan skema utang dengan bunga relatif tinggi bisa menjadikan proyek ini beban bagi kas negara atau BUMN, sehingga menimbulkan insentif untuk “mengamankan” margin lebih besar pada kontraktor/subkontraktor.
  • Kurangnya transparansi publik mengenai detail kontrak, perubahan harga, sub-kontraktor, alokasi lahan, dan biaya pembebasan lahan — yang di proyek-proyek besar sering menjadi pintu masuk korupsi atau mark-up.
  • KPK telah mengimbau laporan, namun belum terlihat proses penyidikan terbuka yang memuaskan publik — hal ini bisa memperburuk persepsi bahwa kontrol internal dan eksternal belum optimal.

Rekomendasi untuk memperkuat tata kelola:

  • Publikasi terbuka semua dokumen utama: kontrak EPC (Engineering Procurement Construction), skema pembiayaan lengkap (term sheet utang/bunga), perubahan desain/biaya, daftar sub-kontraktor dan tender‐terbuka.
  • Audit independen dan eksternal dari lembaga yang kredibel (baik nasional maupun internasional) terhadap seluruh pengeluaran proyek dan pembebasan lahan, dengan hasil yang dipublikasikan.
  • Penguatan peran KPK dan lembaga audit negara dalam penyelidikan dan audit khusus proyek infrastruktur strategis — termasuk mekanisme whistle-blower dan pelaporan publik.
  • Evaluasi ulang skema pembiayaan proyek-infrastruktur besar agar negara mendapatkan kondisi yang lebih menguntungkan (bunga rendah, jaminan minim, transparansi hak operasional) dan tidak memunculkan beban jangka panjang yang mencekik.
  • Keterlibatan masyarakat lokal dan pengawasan publik yang lebih besar dalam pembebasan lahan, kompensasi, serta dampak sosial-lingkungan — untuk meminimalkan konflik dan memungkinkan akuntabilitas sosial.

5. Kesimpulan

Jadi, menjawab pertanyaan Anda secara ringkas:

Namun, tidak ada bukti publik saat ini yang secara hukum menyatakan bahwa proyek ini telah terbukti korupsi — proses pemeriksaan masih terbuka dan pengawasan masih perlu diperkuat.

Ya, ada potensi kelemahan tata kelola dan bahkan potensi korupsi dalam proyek kereta cepat KCIC (yang disebut “Whoosh”) — berdasarkan fakta pembengkakan biaya, pemilihan skema pembiayaan yang kurang menguntungkan negara, dan kurangnya transparansi.

Ya, benar bahwa Jepang menawarkan solusi dengan bunga yang jauh lebih rendah, dan pemerintah Indonesia memilih skema dengan China yang bunga lebih tinggi.

BIAYA PER KM LEBIH MAHAL?

See also  Sejarah Kota Tegal

Berikut ini adalah ringkasan perbandingan perkiraan biaya pembangunan per km untuk proyek kereta cepat/high-speed rail (HSR) di beberapa negara, termasuk Indonesia, serta faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan biaya tersebut.


🇮🇩 Indonesia (Jakarta–Bandung High‑Speed Railway)

  • Proyek ini panjangnya sekitar 142–143 km (antara Jakarta dan Bandung) dan biaya total disebutkan sekitar US$ 7,3 miliar. Wikipedia+2Swarajya+2
  • Jika kita hitung sederhana: US$ 7,3 miliar ÷ 143 km ≈ US$ 51 juta per km. Artikel dari Lowy Institute menyebut angka “US$52 juta per kilometre” untuk Indonesia. Lowy Institute
  • Dengan demikian Indonesia berada jauh di atas beberapa angka standar pembangunan HSR “terjangkau”.

🇨🇳 China

  • Untuk HSR di China dengan kecepatan ~350 km/jam, diperkirakan biaya infrastruktur (track, struktur, viaduk/tunnel) sekitar US$ 17–21 juta per km. International Railway Journal+2Wikipedia+2
  • Contoh: dokumen menyebut “typical infrastructure unit cost … Yuan 100–125 m (≈ US$ 17-21 m) per km”. International Railway Journal
  • Ini menjadikan China sebagai salah satu yang “lebih murah” dalam skala global untuk HSR.

🇯🇵 Jepang (Tōkaidō Shinkansen)

  • Sebuah artikel menyebut: konstruksi awal Tōkaidō Shinkansen (yang dibuka tahun 1964 antara Tokyo–Osaka) memiliki biaya sekitar ¥380 miliar untuk 515.4 km, yang “dalam uang saat ini” ≈ ¥1,8 triliun, maka per-km ≈ ¥740 juta (setara “¥3,6 miliar dalam uang saat ini” per km) sesuai artikel. Nippon+1
  • Jika gunakan kurs kasar (misalnya ¥100 ≈ US$ 0,67), maka ¥3,6 miliar ≈ US$ 24 mio per km (ini sangat kasar, tergantung kurs saat artikel).
  • Namun perlu diingat bahwa proyek Jepang tersebut dilakukan puluhan tahun lalu, dengan kondisi teknis dan ekonomi yang berbeda.

📋 Ringkasan Perbandingan

Negara/ProyekEstimasi Biaya per kmCatatan utama
Indonesia (Jakarta–Bandung)~ US$ 51 juta/kmBiaya sangat tinggi dibanding rata-global
China~ US$ 17-21 juta/kmRelatif murah; efisiensi besar dalam skala & standarisasi
Jepang (Tōkaidō Shinkansen awal)~ US$ ≈ 24 juta/km (estimasi kasar)Proyek lama, kondisi berbeda

🧐 Mengapa Biaya di Indonesia Bisa Lebih Tinggi?

Beberapa faktor yang bisa menjelaskan kenapa biaya per km di Indonesia relatif jauh lebih mahal:

  • Geologi / struktur: Proyek Indonesia banyak bagian viaduk, tunnel, perubahan elevasi, pembebasan lahan yang sulit.
  • Skala & efisiensi: China membangun dalam skala besar dan memakai standar yang diseragamkan, mempercepat dan menurunkan biaya. Jepang dan negara lain mungkin nilai tambah/kompleksitas lebih besar.
  • Waktu / inflasi / revisi anggaran: Proyek Indonesia mengalami pembengkakan biaya dari estimasi awal. Al Jazeera
  • Skema pembiayaan & konsorsium asing-domestik: Pengaturan kontrak, sub-kontraktor, integrasi teknologi mungkin menambah margin.
  • Konteks lokal: Pembebasan lahan, integrasi dengan infrastruktur lain, kebijakan lingkungan/keamanan bisa memperbesar biaya.

✅ Catatan Penting

  • Angka-angka di atas adalah estimasi infrastruktur pembangunan (track, struktur) saja atau total proyek tergantung sumber — tidak selalu mencakup seluruh biaya operasional, rolling stock, lahan, dll.
  • Kurs mata uang, tahun publikasi, dan kondisi lokal sangat mempengaruhi angka. Jadi perbandingan harus diambil dengan “butir garam”.
  • Biaya tinggi bukan otomatis berarti korupsi — tetapi selisih besar dibanding benchmark internasional bisa menjadi indikasi risiko efisiensi rendah atau tata kelola yang perlu pengawasan.
See also  Sejarah Kota Jayapura

BENCHMARK GLOBAL PROYEK KERETA CEPAT DUNIA

Berikut adalah data benchmark global untuk biaya pembangunan kereta cepat (High-Speed Rail / HSR) per km dari berbagai negara/region, sebagai pembanding terhadap proyek di Indonesia. Harap diperhatikan: angka-angka ini adalah estimasi, periode & kondisi proyek berbeda antara satu dan lainnya — jadi jangan langsung disimpulkan persis sebagai “standar wajar” tanpa mempertimbangkan konteks lokal.


🌍 Benchmark Global Biaya HSR per km

Negara / RegionEstimasi Biaya per kmSumber & catatan utama
CinaUS$ 17-21 juta per km“The World Bank estimated … the Chinese HSR network was built at an average cost of US$17–21 million per km.” Wikipedia+1
Eropa (umum)~ € 25 juta per km (≈ US$ 27-30 jt/­km)Audit UE menyebut “on average … cost 25 million euro per km (not taking into account the more expensive tunnelling projects)” for certain lines. Publications Office of the EU
Italia (contoh Turin–Milan)~ € 20.6 juta/­kmMisalnya proyek Turin–Milan high‑speed railway (148.3 km, cost ≈ €2.58 miliar) → ~ €20.6 juta/­km. Wikipedia
Negara lain (rentang)~ €10 – €70 juta per km (≈ US$11-75 jt/­km)Laporan “A profile of high-speed railways” menyebut: “costs for … new lines ranges from around €10 million/kilometre to €70 million/kilometre”. Infrastructure Research Economics
Amerika Serikat (contoh)~ US$ 64.5 juta per km (contoh line spesifik)Satu analisis menyebut proyek HSR di AS bagian tertentu “US$64.5 million dollars per km”. Pedestrian Observations

📝 Analisis: Seberapa jauh proyek Indonesia menyimpang?

Jika kita bandingkan dengan data di atas:

  • Proyek di Indonesia (misalnya Jakarta–Bandung High‑Speed Railway) dilaporkan memiliki biaya yang jauh lebih tinggi per km dibanding benchmark Cina dan Eropa.
  • Jika Cina bisa membangun di kisaran ~US$17-21 juta/­km, dan Eropa rata sekitar US$27-30 juta/ km, maka bila biaya Indonesia jauh di atas angka tersebut, maka ada penyimpangan yang signifikan.
  • Penyimpangan ini tidak otomatis berarti korupsi, tapi ia adalah indikator risiko efisiensi rendah atau kondisi‐eksternal yang lebih berat (misalnya geologi sulit, pembebasan lahan mahal, viaduk/tunnel banyak, inflasi, skema finansial kompleks, dll).

🔍 Faktor-faktor yang bisa membuat biaya naik

Beberapa alasan mengapa satu proyek HSR bisa jauh lebih mahal dibanding benchmark:

  • Proporsi viaduk/tunnel yang tinggi (termasuk terowongan dan jembatan panjang) → secara signifikan menaikkan biaya. Transit Costs Project+1
  • Kondisi tanah/geologi yang sulit, lahan yang padat dan mahal, pembebasan lahan kompleks.
  • Skema kontrak/keuangan yang kurang efisien (misalnya penggunaan subkontraktor asing mahal, bunga utang tinggi).
  • Inflasi bahan baku, tenaga kerja, perubahan desain saat proyek berjalan.
  • Kinerja manajemen proyek, tender terbuka atau tidak, pengawasan regulasi.
Visited 8 times, 8 visit(s) today