Kedudukan Hadis dan Al-Qur’an dalam Hukum Islam: Studi Kasus Khitan Sunat (circumcision) pada Pria dan Wanita

Pendahuluan

SEJARAHID Dalam praktik beragama Islam, Al-Qur’an dan hadis (sunnah Nabi Muhammad ﷺ) sering dijadikan sumber hukum. Namun, posisi keduanya tidak selalu sama. Al-Qur’an dipandang sebagai wahyu langsung dari Allah yang dijamin keasliannya sampai akhir zaman. Sementara hadis adalah catatan praktik dan ucapan Nabi Muhammad ﷺ yang dihimpun setelah beliau wafat.

Meskipun demikian, dalam kenyataan sehari-hari, banyak aturan yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an, tetapi menjadi hukum “wajib” karena berdasar pada hadis. Hal ini menimbulkan perdebatan klasik, khususnya ketika sebuah hukum tidak memiliki landasan eksplisit dalam Al-Qur’an.

Selama tidak ada nash dalam Al-Quran seperti contoh Khitan, maka ada Orang Islam (Hanafi Maliki) yang tidak mengikuti perbuatan Nabi Muhammad. Hanafi Maliki berani berpendapat Khitan adalah “TIDAK WAJIB”. Ingat ya INI BUKAN INGKAR SUNAH!
Yang teriak-teriak INGKAR SUNAH sering terjadi di Kota Kota Kecil yang tidak paham adanya 4 Mahzab.

Contoh pendapat ulama bahwa yang tidak menggunakan hadis karena tidak ada nash dalam Al-Quran adalah INGKAR SUNAH:

Contoh Kasus: Rajam dan Sunat

Salah satu contoh jelas adalah hukuman rajam. Di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menetapkan rajam sebagai hukuman bagi pezina. Namun, catatan hadis meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah menerapkannya. Akibatnya, sebagian umat Islam menganggap rajam tetap sah sebagai hukum, sementara yang lain menolak karena tidak ada dasar nash Al-Qur’an.

Contoh lain yang lebih dekat dengan praktik sehari-hari adalah sunat atau khitan (circumcision). Dalam Al-Qur’an, tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit memerintahkan sunat. Namun, karena ada hadis menyebutkan Nabi Muhammad ﷺ melakukan sunat, mayoritas umat Islam menganggapnya wajib.

Hadits yang agak tegas menyarankan khitan pada perempuan hanyalah hadits yang dikumpulkan Abu Dawud (dibawah level Hadis Sahih Riwayat Bukhari),

”bahwa Nabi Muhammad pernah berkata kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan, ‘sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya’”.

Pandangan Empat Mazhab tentang Sunat Khitan (circumcision)

Keempat mazhab besar dalam Islam—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—punya perbedaan pandangan tentang hukum khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

MazhabKhitan Laki-LakiKhitan Perempuan
HanafiSunnah muakkadah
(TIDAK WAJIB)
Makruh
(tidak dianjurkan) DILARANG
MalikiSunnah muakkadah
(TIDAK WAJIB)
Mubah
(boleh, TIDAK WAJIB)
Syafi’iWajib (laki-laki dan perempuan)Wajib
(praktiknya sangat diperdebatkan)
HanbaliWajib (laki-laki)Sunnah
(TIDAK WAJIB)

Perbedaan ini menunjukkan bahwa bahkan dalam tradisi fiqih klasik, para ulama tidak satu suara mengenai kewajiban khitan. Namun, di Indonesia yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i, khitan dipandang sebagai wajib bagi laki-laki, bahkan perempuan, sehingga umat yang meragukan status hukum khitan sering dianggap “ingkar sunnah.”

See also  Apakah Manusia Purba Raksasa ini Mempunyai Penis yang lebih besar daripada Manusia Modern?

Kapan Hadis Dibukukan?

Di sini penting dicatat: hadis baru benar-benar dibukukan jauh setelah Nabi wafat. Nabi meninggal pada 632 M. Kumpulan hadis otoritatif seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim baru muncul pada abad ke-3 Hijriyah (± 200 tahun kemudian).

Artinya, hadis melewati proses panjang: periwayatan lisan, seleksi, kritik sanad, hingga akhirnya dikodifikasi. Proses ini wajar dalam sejarah, tapi juga menunjukkan bahwa hadis tidak punya jaminan “pemeliharaan ilahi” seperti Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri menyatakan:

Posisi Hadis terhadap Al-Qur’an

Menurut penafsiran umum, hadis berfungsi menjelaskan Al-Qur’an, memberi rincian pada ayat-ayat yang masih global. Namun, bila dilihat dari sudut lain, hadis sebenarnya adalah interpretasi Nabi Muhammad ﷺ sebagai seorang imam (pemimpin politik sekaligus agama) terhadap hukum utama, yaitu Al-Qur’an.

Artinya, ketika Nabi Muhammad ﷺ wafat, secara logis kepemimpinan berpindah kepada khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan seterusnya. Dalam kerangka politik ini, sebenarnya khalifah sebagai imam baru memiliki kewenangan menafsirkan Al-Qur’an sesuai zamannya, tanpa harus terikat penuh pada hadis Nabi sebelumnya.

Di sini penting dicatat: hadis baru benar-benar dibukukan jauh setelah Nabi wafat. Nabi meninggal pada 632 M. Kumpulan hadis otoritatif seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim baru muncul pada abad ke-3 Hijriyah (± 200 tahun kemudian).

Artinya, hadis melewati proses panjang: periwayatan lisan, seleksi, kritik sanad, hingga akhirnya dikodifikasi. Proses ini wajar dalam sejarah, tapi juga menunjukkan bahwa hadis tidak punya jaminan “pemeliharaan ilahi” seperti Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri menyatakan:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (sampai akhir zaman).”
(QS. Al-Hijr [15]: 9)

Ayat ini sering dijadikan dasar bahwa Al-Qur’an adalah teks suci yang tidak mungkin hilang atau berubah. Tidak ada pernyataan sejenis mengenai hadis. HADIST TIDAK DINYATAKAN DIJAMIN DIPELIHARA OLEH TUHAN!

Catatan Tegas: Kasus Sunat

Kembali pada kasus sunat, jelas bahwa:

  • Tidak ada ayat Al-Qur’an yang mewajibkan khitan.
  • Hadis memang menyebutkannya, sehingga lahirlah hukum fiqih dari para ulama.
  • Namun, perbedaan pandangan di antara 4 mazhab menunjukkan bahwa kedudukan hadis tidak setara dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama.
See also  Raja Firaun adalah Raja yang Sukses dalam Pembangunan Negara & Swasembada Pertanian, Mengapa Raja Firaun di bully oleh KITAB SUCI?

Fakta bahwa mazhab Maliki dan Hanafi berani menyebut khitan tidak wajib (untuk perempuan, bahkan untuk laki-laki tidak sampai derajat fardhu) membuktikan bahwa hukum Islam memiliki ruang tafsir luas.

Refleksi

Di Indonesia, umat Islam mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i, yang tegas mewajibkan khitan. Karena itu, setiap orang yang berpendapat khitan tidak wajib sering dituduh menolak sunnah. Padahal, dalam tradisi Islam sendiri, ada ruang perbedaan pendapat.

Hal ini memberi pelajaran penting: hadis memang sumber penting, tapi tidak bisa disejajarkan mutlak dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah teks wahyu yang dijamin Allah terjaga. Hadis adalah interpretasi Nabi sebagai pemimpin agama dan politik di zamannya. Setelah Nabi wafat, khalifah dan ulama pun melakukan ijtihad baru sesuai kebutuhan masyarakat.

Penutup

Perdebatan tentang kedudukan hadis dan Al-Qur’an akan selalu hidup. Kasus khitan adalah contoh nyata bagaimana sebuah praktik yang tidak ada dalam Al-Qur’an, tetapi ada dalam hadis, bisa dianggap wajib oleh sebagian besar umat.

Namun, sejarah membuktikan bahwa hukum Islam tidak pernah tunggal. Khalifah awal berani menafsir ulang, mazhab berbeda pendapat, dan hadis sendiri baru dibukukan ratusan tahun setelah Nabi wafat.

Pertanyaannya: kalau Al-Qur’an jelas dijamin terpelihara, sementara hadis tidak ada jaminan dalam Al-Quran, pantaskah keduanya ditempatkan setara sebagai sumber hukum mutlak? Atau seharusnya umat berani melihat hadis sebagai tafsir historis, bukan hukum abadi yang mengikat sampai akhir zaman?

Read More:

Bahkan Presiden (Khalifah) setelah Nabi Muhammad berani Tidak Menerapkan Aturan HADIS & Al-Quran

ada beberapa kebijakan Abu Bakar dan Umar yang berbeda dengan praktik Nabi Muhammad ﷺ. Ini penting, karena menunjukkan bahwa para khalifah tidak sekadar menyalin hadis Nabi, tapi juga menggunakan ijtihad sesuai kondisi zaman.

🔹 Contoh Abu Bakar

  1. Perang Riddah (melawan orang murtad setelah wafat Nabi)
    • Nabi Muhammad ﷺ semasa hidup tidak pernah memerangi orang yang hanya berhenti bayar zakat.
    • Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka (Riddah Wars), padahal sebagian sahabat seperti Umar awalnya menolak.
    • Ini jelas kebijakan baru, tidak ada presedennya dari hadis.
  2. Pengumpulan Al-Qur’an dalam mushaf
    • Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan pengumpulan mushaf Al-Qur’an dalam satu buku.
    • Abu Bakar, atas saran Umar, memerintahkan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an.
    • Ini kebijakan administratif baru, bukan dari hadis Nabi.
See also  Ramalan Random Bazi Primbon Cina Untuk Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Tahun Ular Kayu 2025 dan Tahun Kuda Api 2026 (Revisi 11.09.2025)

🔹 Contoh Umar bin Khattab

  1. Hukuman potong tangan untuk pencuri
    • Dalam Qur’an jelas hukumnya (QS. Al-Maidah: 38).
    • Tapi ketika ada masa paceklik (tahun kelaparan), Umar menangguhkan hukuman potong tangan.
    • Artinya beliau menafsir ulang hukum Qur’an sesuai konteks.
  2. Jizyah untuk non-Muslim
    • Nabi Muhammad ﷺ tidak mengenakan jizyah (pajak khusus) pada kaum non-Muslim di luar Arab.
    • Umar memperluas penerapan jizyah di wilayah-wilayah baru yang ditaklukkan (Persia, Mesir, Syam).
    • Ini ijtihad politik, bukan sekadar mengikuti hadis Nabi.
  3. Larangan talak tiga langsung jatuh talak tiga
    • Nabi ﷺ membolehkan jika suami menjatuhkan talak tiga sekaligus, maka jatuh satu.
    • Umar memutuskan bahwa talak tiga sekaligus langsung jatuh tiga, demi menertibkan umat yang main-main dengan talak.
    • Jelas ini kebijakan baru.
  4. Tidak membagikan tanah rampasan perang kepada tentara
    • Pada masa Nabi ﷺ, harta rampasan perang biasanya dibagi kepada tentara.
    • Umar mengubah kebijakan: tanah rampasan tidak dibagi, tapi dibiarkan tetap dikelola penduduk dengan kewajiban bayar pajak untuk baitul mal.

🔹 Makna Penting

  • Abu Bakar dan Umar tidak selalu mengikuti hadis Nabi secara kaku, tapi menafsir hukum sesuai kebutuhan zaman.
  • Ini menunjukkan bahwa hadis pada masa awal Islam lebih dipandang sebagai preseden, bukan hukum absolut yang mengikat semua khalifah berikutnya.
  • Dalam konteksmu tadi, benar: sebenarnya setiap imam (khalifah) punya otoritas menafsir Qur’an langsung, bukan hanya menyalin tafsir Nabi.
Visited 21 times, 1 visit(s) today