Ketika Mahfud MD Smell a Rat on “Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Whoosh”

Disclaimer: Artikel ini merupakan analisis berbasis data publik dan pemberitaan media. Dugaan yang disampaikan bukanlah tuduhan hukum, dan hanya dapat dipastikan melalui audit resmi atau investigasi lembaga berwenang.

SEJARAHID Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang dikenal dengan nama Whoosh sejak awal digadang-gadang sebagai simbol modernisasi transportasi Indonesia. Namun di balik megahnya proyek ini, muncul banyak tanda tanya: lonjakan biaya, restrukturisasi utang hingga puluhan tahun, hingga muncul dugaan bahwa pihak asing sudah meraup keuntungan di muka sementara Indonesia menanggung risiko jangka panjang.

🐀 Arti Idiom “I Smell a Rat”

  • Secara harfiah: “Aku mencium bau tikus.”
  • Secara idiomatik (makna kiasan):
    👉 “Aku mencium sesuatu yang tidak beres / ada permainan kotor di balik ini.”

Biasanya digunakan saat seseorang merasa ada penipuan, kebohongan, atau manipulasi yang tersembunyi.

Benarkah ada permainan markup di balik proyek yang dibiayai utang raksasa ini? Dugaan korupsi ini pertama kali mencuat ketika mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyinggung adanya dugaan penggelembungan anggaran proyek Whoosh melalui kanal youtube Mahfud MD Official pada 14 Oktober 2025.

Sumber:

  • Geger dugaan korupsi kereta cepat Whoosh Jakarta–Bandung
  • https://www.cna.id/indonesia/geger-dugaan-korupsi-kereta-cepat-whoosh-jakarta-bandung-40101

Janji Awal vs Realita

Ketika pertama kali diumumkan, proyek kereta cepat Whoosh diproyeksikan menelan biaya sekitar US$ 5,29 miliar dengan skema pembiayaan 75% utang dan 25% ekuitas. Pemerintah bahkan menekankan bahwa proyek ini tidak akan membebani APBN. Namun, seiring berjalannya waktu, janji itu kian sulit dipertahankan.

Biaya proyek melonjak menjadi lebih dari US$ 7,3 miliar atau setara Rp 120–130 triliun. Terdapat cost overrun sekitar US$ 1,2 miliar (Rp 20 triliun) dibandingkan perhitungan awal. Akhirnya, pemerintah tetap harus menggelontorkan dana APBN untuk menopang kelanjutan proyek. Fakta ini menjadi titik awal kecurigaan: apakah lonjakan biaya tersebut murni akibat faktor teknis, atau ada markup dalam kontrak dan material yang digunakan?

Struktur Kepemilikan dan Dominasi Tiongkok

Secara formal, proyek ini dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah joint venture dengan kepemilikan 60% Indonesia (melalui konsorsium BUMN: KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII) dan 40% Tiongkok (lewat konsorsium BUMN Tiongkok).

Namun, meski saham mayoritas dipegang Indonesia, kontraktor utama yang menggarap proyek adalah perusahaan Tiongkok, seperti China Railway Engineering Corporation. Dari sinilah muncul celah dugaan markup. Ketika kontraktor sekaligus pemberi pinjaman berasal dari pihak yang sama, maka potensi penentuan harga yang tidak kompetitif sangat terbuka.

Skema Utang yang Menjerat

Pendanaan proyek Whoosh sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB). Tercatat, pinjaman mencapai sekitar US$ 4,5 miliar. Awalnya, tenor pinjaman ditetapkan 40 tahun, namun belakangan muncul wacana perpanjangan hingga 60 tahun akibat beratnya beban cicilan.

See also  Seks Bebas "Swinger" Tukar Menukar Istri

Masalahnya, usia ekonomis aset kereta cepat—baik rel, gerbong, maupun sistem pendukung—umumnya hanya 20–30 tahun sebelum memerlukan peremajaan besar. Jika cicilan utang baru selesai setelah 60 tahun, berarti Indonesia masih membayar pinjaman untuk aset yang pada saat itu kemungkinan sudah menjadi besi tua. Inilah kejanggalan logis yang memicu kecurigaan: bagaimana mungkin investor asing setuju pada skema yang jelas-jelas merugikan secara jangka panjang, kecuali mereka sudah memperoleh keuntungan sejak awal?

Data menunjukkan, hanya untuk bunga saja, KCIC harus menanggung sekitar US$ 120,9 juta per tahun. Beban besar ini jelas menjadi “bom waktu” finansial, terlebih jika pendapatan operasional jauh di bawah proyeksi.

Aneh Tapi Masuk Akal (Bagi Tiongkok)

Jika dipandang sekilas, restrukturisasi hingga 60 tahun terlihat merugikan pihak Tiongkok yang memiliki 40% saham. Namun bila diteliti lebih jauh, situasi ini justru masuk akal bagi mereka.

  1. Keuntungan dari kontrak EPC: Perusahaan konstruksi Tiongkok yang menjadi kontraktor utama sudah meraup profit sejak tahap pembangunan. Setiap markup biaya material, jasa, atau teknologi otomatis menjadi keuntungan mereka.
  2. Bunga pinjaman ke bank Tiongkok: Karena sebagian besar utang berasal dari China Development Bank, arus kas pembayaran bunga langsung mengalir ke lembaga keuangan Tiongkok.
  3. Teknologi dan material impor: Peralatan, kereta, hingga sistem sinyal banyak dipasok dari Tiongkok, yang berarti tambahan pemasukan bagi industri mereka.

Dengan skema ini, Tiongkok tidak perlu menunggu dividen puluhan tahun. Mereka sudah “cash out” di awal, sementara Indonesia menanggung risiko finansial jangka panjang.

Siapa yang Menanggung?

Pertanyaan besar kemudian: siapa yang akhirnya menanggung semua beban ini? Jawabannya jelas: Indonesia.

  • BUMN Indonesia harus menanggung risiko operasional jika jumlah penumpang jauh di bawah target. Hingga kini, ada kekhawatiran load factor kereta cepat belum mencapai angka ideal.
  • APBN berpotensi kembali disedot untuk menalangi proyek jika beban utang tak bisa ditutup dari pendapatan. Hal ini ironis, mengingat janji awal proyek bebas APBN.
  • Masyarakat menanggung risiko tidak langsung, baik lewat pajak maupun lewat subsidi yang bisa dialihkan dari sektor lain.

Jika tren ini berlanjut, maka dalam dua generasi ke depan rakyat Indonesia masih harus membayar utang proyek yang asetnya sudah tidak produktif lagi.

Dugaan Suap terhadap Oknum Pejabat

Selain dugaan markup oleh kontraktor asing, muncul pula pertanyaan mengenai kemungkinan adanya suap yang diterima oknum pejabat. Dalam banyak proyek internasional, pola yang terjadi adalah dua arah: pihak asing meraup keuntungan dari markup, sementara sebagian dana dialirkan sebagai komisi atau fee gelap kepada pejabat atau manajemen lokal agar kontrak yang merugikan negara bisa disetujui. Pola seperti ini perlu diaudit dan diselidiki oleh lembaga berwenang agar publik memperoleh kejelasan.

See also  Benarkah Blogspot.com (Blogger) Hidup Kembali?

Pola Serupa di Negara Lain

Fenomena dugaan markup dan suap dalam proyek infrastruktur internasional bukanlah hal baru. Beberapa negara lain yang terlibat dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok juga menghadapi kasus serupa.

  • Pakistan: Proyek listrik dan transportasi di bawah skema China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) menuai kritik karena biaya yang membengkak. Laporan media lokal menyoroti adanya dugaan pembayaran komisi kepada pejabat untuk meloloskan kontrak mahal.
  • Sri Lanka: Proyek pelabuhan Hambantota kerap dijadikan contoh klasik. Selain biaya besar, ada tuduhan bahwa kontraktor asing memberikan dana politik kepada elit lokal agar kontrak tetap berjalan meski merugikan negara. Akibat gagal bayar, aset pelabuhan akhirnya disewakan ke Tiongkok dalam jangka panjang.
  • Afrika Timur: Beberapa proyek rel di Kenya dan Ethiopia juga dituding penuh markup. Audit lokal menemukan adanya perbedaan mencolok antara biaya yang diumumkan dan standar harga internasional. Dugaan suap oknum pejabat turut memperkuat kecurigaan adanya praktik korupsi lintas negara.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pola markup oleh kontraktor asing yang dipadukan dengan dugaan suap oknum pejabat adalah risiko nyata dalam proyek-proyek besar lintas negara. Karena itu, dugaan pada proyek Whoosh tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari tren global yang harus diwaspadai.

Catatan Redaksi: Paragraf ini menyoroti pola umum yang kerap muncul dalam proyek infrastruktur internasional. Tulisan ini tidak menunjuk atau menuduh individu, institusi, maupun negara tertentu. Seluruh dugaan yang disebutkan masih memerlukan audit dan penyelidikan resmi dari lembaga berwenang untuk memastikan kebenarannya.

China’s Cunning Strategy

Melihat pola yang berulang di berbagai negara, dari Asia hingga Afrika, muncul analisis bahwa proyek kereta cepat Whoosh bukan sekadar persoalan teknis infrastruktur, melainkan bagian dari strategi besar Tiongkok di bawah payung Belt and Road Initiative (BRI). Banyak pengamat menyebut pendekatan ini sebagai strategi yang licik namun canggih (cunning strategy).

  1. Menang di Awal (Front-Loaded Profit)
    Tiongkok meraup keuntungan besar melalui kontrak EPC (engineering, procurement, construction) dan bunga pinjaman sejak tahap pembangunan. Mereka tidak perlu menunggu puluhan tahun untuk balik modal.
  2. Utang Panjang sebagai Alat Kontrol
    Dengan tenor utang yang diperpanjang hingga 40–60 tahun, negara penerima terikat pada kewajiban jangka panjang. Jika gagal bayar, Tiongkok bisa menegosiasikan kompensasi strategis, seperti yang terjadi di Sri Lanka dengan sewa pelabuhan Hambantota selama 99 tahun.
  3. Pengaruh Politik Lewat Oknum Pejabat
    Dugaan suap atau komisi kepada oknum pejabat menciptakan hubungan patron-klien yang membuat negara penerima sulit menolak proyek baru.
  4. Jebakan Aset (Asset Trap)
    Infrastruktur sering kali berumur 20–30 tahun, tetapi utang berlangsung jauh lebih lama. Ketika aset butuh peremajaan, negara terpaksa kembali berutang—umumnya ke lembaga keuangan Tiongkok.
  5. Ekspansi Geopolitik
    Dengan pola ini, Tiongkok bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menciptakan jaringan ketergantungan finansial dan politik lintas negara. Itulah sebabnya sebagian kalangan menyebutnya sebagai bentuk debt-trap diplomacy.

Pola inilah yang membuat persetujuan Tiongkok atas skema utang 60 tahun tampak “aneh” tapi sesungguhnya masuk akal. Mereka sudah memastikan keuntungan di muka, sementara Indonesia menanggung risiko jangka panjang.

See also  ChatGPT Review of My Article "Are the miracle-stories of the Bible and the Qur’an influenced by ancient Greek “super-human” mythology?"

Perkembangan Terbaru Penyelidikan

Hingga Oktober 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menaikkan dugaan korupsi dalam proyek kereta cepat Whoosh ke tahap penyelidikan. Fokus awal KPK adalah menelusuri adanya pembengkakan biaya (cost overrun) dan potensi markup dalam kontrak. Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapat desakan dari DPR dan publik untuk melakukan audit investigatif menyeluruh. Hasil audit BPK diyakini akan menjadi bukti penting dalam menentukan apakah dugaan markup tersebut benar adanya. Meski demikian, hingga kini belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga proses hukum masih berjalan di tahap pengumpulan bukti.


Penutup: Kereta Utang, Kereta jadi besi tua, utang masih ngebut

Kereta cepat Whoosh seharusnya menjadi ikon modernisasi transportasi Indonesia, namun justru berpotensi menjadi beban finansial yang panjang. Restrukturisasi utang hingga 60 tahun adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres sejak awal. Ketika aset berumur 30 tahun, tetapi cicilan masih berjalan dua kali lipat lebih lama, wajar jika publik mencium bau tak sedap.

Visited 22 times, 1 visit(s) today