Setelah Kalah dari Malaysia, Kini Indonesia Tertinggal Jauh dari Vietnam

Indonesia kembali menerima “tamparan keras” di kancah persaingan ekonomi regional. Setelah isu kekalahan 0-3 dari Malaysia dalam hal kesejahteraan rakyat mencuat, kini fokus beralih pada rival ASEAN lainnya: Vietnam.

Data terkini dari Kuartal III 2025 menunjukkan kesenjangan kinerja yang tajam. Vietnam, dengan fokus gigihnya berinvestasi di sektor pertanian dan manufaktur, berhasil mencatatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,2%. Angka ini jauh melampaui Indonesia yang pada periode yang sama hanya tumbuh di angka 5,04%.

Kontras mencolok terlihat pada fokus anggaran di Indonesia. Di saat Vietnam mengalirkan sumber daya ke sektor-sektor produktif, Indonesia justru menghabiskan triliunan rupiah untuk proyek-proyek yang diragukan urgensi dan dampaknya secara langsung pada masyarakat, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru dan proyek kereta cepat Whoosh. Proyek-proyek tersebut dinilai tidak berdampak signifikan pada penguatan sektor pertanian dan manufaktur, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi berkelanjutan.


📉 Kelemahan Fundamental Indonesia: Tata Kelola dan Prioritas yang Keliru

Perlambatan ekonomi dan ketertinggalan Indonesia dari Vietnam tidak hanya disebabkan oleh alokasi anggaran yang condong ke proyek infrastruktur megah. Masalah fundamental juga terletak pada tata kelola, birokrasi, dan ketertiban umum, yang secara kolektif meningkatkan biaya ekonomi dan mengurangi daya tarik investasi.

1. Kebijakan Fiskal: Dukungan Bisnis Kontras

Perbedaan paling baru dan mencolok terlihat pada kebijakan fiskal yang memengaruhi daya beli masyarakat dan beban bisnis:

  • Vietnam mengambil langkah pro-bisnis dan pro-konsumsi dengan mempertahankan atau memberlakukan tarif PPN 8% di banyak sektor, tujuannya adalah merangsang konsumsi domestik dan menjaga daya saing harga produk.
  • Sebaliknya, Indonesia berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Kenaikan ini berpotensi memberikan tekanan lebih lanjut pada harga barang, menurunkan daya beli masyarakat, dan meningkatkan beban biaya bagi sektor manufaktur dan pertanian domestik, yang sedang berjuang melawan gempuran produk impor.
See also  Tarif Prostitusi Pelacur Wanita di Indonesia

2. Toleransi Terhadap Premanisme dan Ketidakpastian Hukum

Berbeda dengan Vietnam yang mengutamakan ketertiban di ruang publik (misalnya, minimnya pengemis dan parkir liar), Indonesia menghadapi masalah kronis berupa kehadiran Ormas dan premanisme yang berdampak pada iklim investasi dan rasa aman.

SEJARAHID pernah wisata ke ke Ho Chi Min City (HCMC) dan Hanoi pada sekitar 2015 dan disana tidak ada satupun pengemis dan parkir liar!

  • Masalah ini dipertajam dengan fakta bahwa tokoh politik sekaliber Presiden (terpilih) Prabowo bahkan pernah menjadi Dewan Pembina Ormas yang dipimpin oleh tokoh kontroversial seperti Hercules. Kehadiran Ormas-Ormas seperti Pemuda Pancasila dan GRIB Herkules seringkali dikaitkan dengan praktik-praktik yang menciptakan ketidakpastian hukum dan rasa aman bagi pelaku usaha.

“Kami ingin mengklarifikasi bahwa informasi yang menyebutkan adanya surat pernyataan yang mengklaim bahwa Bapak Prabowo Subianto mundur dari kepengurusan pusat DPP GRIB Jaya adalah hoax yang tidak benar,” ujar Kabid Humas dan Publikasi DPP GRIB Jaya, Marcel Gual, dalam keterangan resminya, Kamis, 13 Februari 2025.

GRIB Jaya Tegaskan Presiden Prabowo Masih Sebagai Ketua Dewan Pembina (Metro TV News)

  • Selain itu, parkir liar yang sengaja dibiarkan sebagai “penyangga sektor informal” justru menciptakan ekonomi biaya tinggi, menghambat arus lalu lintas, dan memberikan citra ketidakpastian hukum.

3. Birokrasi yang Rumit dan Fenomena Kronisme

Di sektor tata kelola, Vietnam dikenal berupaya keras menciptakan birokrasi yang tidak rumit bagi investor. Sementara di Indonesia, masalah birokrasi yang panjang diperburuk oleh isu kronisme dalam tata kelola BUMN.

  • Penempatan tokoh non-profesional, kroni politik, atau tokoh yang tidak memiliki relevansi bidang di jajaran komisaris dan direksi BUMN—seperti pimpinan ormas keagamaan menjadi komisaris kereta api atau mantan penyanyi menjadi komisaris telekomunikasi—dipandang sebagai penghambat utama efisiensi dan tata kelola yang baik.
See also  Adakah kasus korupsi di lembaga TNI selama Tahun 2024?

Abdee ‘Slank’ menjadi Komisaris Telkom, antara ‘balas jasa’ dan keahlian ‘digitalisasi konten’ (BBC)

Profil Said Aqil Siradj, Komisaris Utama PT KAI (Kompas)


🚀 Mengapa Vietnam Melesat? Fokus pada Sektor Produktif

Keunggulan Vietnam berakar pada dua pilar utama yang didukung oleh kebijakan fiskal yang suportif:

  • Fokus Investasi yang Jelas: Vietnam konsisten menjadikan FDI di sektor manufaktur sebagai mesin pertumbuhan utamanya.
  • Unggul di Sektor Pangan Global: Fokus pada pertanian telah menjadikan Vietnam raksasa ekspor. Dalam urusan durian saja, Vietnam menjadi raja baru dengan nilai ekspor mencapai US$3,3 miliar (sekitar Rp53 triliun) pada tahun 2024, menempel ketat Thailand. Indonesia tertinggal jauh dengan nilai ekspor durian yang masih sangat mini. Vietnam juga mengungguli Indonesia dalam ekspor mangga dan beras.

Vietnam Jadi Pemain Utama Ekspor Durian, Nilainya Tembus Rp 53,6 Triliun (Kompas)


Kesimpulan: Kesenjangan yang Semakin Lebar

Dengan pertumbuhan PDB 8,2% di Kuartal III 2025 dan kebijakan PPN yang mendukung iklim bisnis, Vietnam semakin meninggalkan Indonesia. Ketika triliunan rupiah dihabiskan untuk proyek-proyek yang belum terbukti dampaknya pada daya saing global dan kesejahteraan rakyat kecil di sektor primer, sementara beban pajak dinaikkan, Vietnam dan Malaysia terus melaju kencang dengan memperkuat fundamental ekonomi mereka di bidang manufaktur, pertanian, dan efisiensi tata kelola negara.

Indonesia perlu segera meninjau ulang alokasi anggarannya dan menyelesaikan masalah fundamental tata kelola, sebelum kesenjangan ekonomi dengan sesama negara ASEAN semakin tidak terkejar.

SEJARAHID sudah memberi beberapa solusi supaya Indonesia menjadi negera maju pada 2075 bukan 2045:

Visited 11 times, 1 visit(s) today