Muhammad Akan Gagal Menyatukan Arab (Islam) Jika Muncul sebagai Filsuf seperti Gandhi, Bukan sebagai Nabi

Jika Muhammad muncul di Jazirah Arab abad ke-7 hanya sebagai filsuf atau reformis moral seperti Mohandas Gandhi, misinya hampir pasti akan gagal. Saat itu, Arabia dikuasai oleh loyalitas kesukuan, persaingan klan, dan kendali Quraisy atas ekonomi Ka‘bah. Dalam dunia yang terfragmentasi seperti itu, seorang reformis sekuler tidak mungkin mampu menembus tembok kekerabatan dan darah.

Para pemikir Yunani dan Romawi sudah memahami hal ini. Plato dalam The Republic berpendapat bahwa rakyat paling taat ketika para penguasanya ditopang oleh sebuah “mitos mulia”, kisah sakral yang memberi legitimasi. Xenophanes mencatat bahwa orang awam lebih tergerak oleh para dewa daripada oleh akal. Cicero menjelaskan bahwa agama adalah instrumen paling kuat untuk menjaga keteraturan sosial, karena orang biasa lebih takut pada yang ilahi daripada menghormati logika. Pelajarannya sederhana: orang mengikuti apa yang mereka yakini berasal dari langit, bukan dari filsuf.

Jika wawasan ini kita terapkan pada Arabia abad ke-7, gambarannya jelas:

  • Mekah dan Madinah dikuasai oleh kesukuan, kekerabatan, dan kekuatan ekonomi, berpusat di sekitar Ka‘bah.
  • Seorang reformis sekuler murni, entah filsuf atau aktivis moral, tidak mungkin melampaui loyalitas suku.
  • Satu-satunya otoritas yang sanggup menembus sekat kesukuan adalah legitimasi “dari atas”—klaim wahyu ilahi yang melampaui kepentingan klan.

Di sinilah identitas Muhammad sebagai nabi menjadi penentu. Ia tidak tampil sebagai “sekadar seorang Quraisy yang berkhotbah,” melainkan sebagai rasūl Allāh, Utusan Allah.

  • Narasi wahyu—Jibril, kitab, perintah ilahi—memberinya otoritas supra-sosial.
  • Pesannya bersifat universal, mustahil ditolak dengan alasan rivalitas suku.
  • Perbandingan: Gandhi pada abad ke-20 bisa berhasil dengan filsafat moral karena ia memiliki surat kabar, radio, dan kerangka nasionalisme anti-kolonial. Muhammad pada abad ke-7, tanpa klaim kenabian, akan tetap menjadi reformis kecil yang tenggelam oleh politik kesukuan.
See also  Adakah kasus korupsi di lembaga kepolisian selama Tahun 2025?

Perbedaan ini bukan hanya soal konteks sejarah, melainkan soal struktur legitimasi. Gandhi mampu menginspirasi sebagai filsuf karena negara modern dan media sudah ada. Muhammad membutuhkan jubah kenabian karena Arabia tidak memiliki apa pun yang bisa menyatukan di luar garis darah.

Kontras terakhir:

  • Gandhi berhasil tanpa klaim kenabian karena:
    • Ia memiliki media modern untuk memperkuat suaranya.
    • Gagasan tentang “India” sebagai bangsa sudah ada di bawah kolonialisme.
    • Inggris menyediakan musuh eksternal bersama yang bisa mempersatukan rakyat.
  • Muhammad membutuhkan klaim kenabian karena:
    • Arabia tidak memiliki media, negara pusat, atau identitas nasional.
    • Persaingan suku hanya bisa diatasi dengan otoritas yang lebih tinggi daripada kekerabatan.
    • Klaim berbicara atas nama langit memberinya legitimasi universal untuk menciptakan komunitas baru, ummah.

Muhammad akan gagal jika tampil hanya sebagai filsuf ala Gandhi. Sebagai nabi, ia berhasil menyatukan Arabia dan mengubah sejarah.

Ringkasan:
Muhammad tidak mungkin bisa menyatukan Arabia jika ia hanya tampil sebagai filsuf seperti Gandhi. Pada abad ke-7, loyalitas suku dan persaingan klan terlalu kuat, dan reformis sekuler tidak mungkin melampauinya. Hanya klaim kenabian, dengan otoritas ilahi, yang memberi Muhammad legitimasi untuk melampaui suku dan menciptakan ummah. Sebagai nabi ia mengubah sejarah; sebagai filsuf ia akan dilupakan.

Visited 1 times, 1 visit(s) today